Putusan MA No. 15 PK/Pid/2006 (Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih)
Diputus tanggal 19 Juni 2006
Perkara : Perusakan Barang
Lokasi : Tanjung Pinang
Majelis Hakim
- Parman Suparman
- Arbiyoto
- Imam Haryadi
Resume Perkara:
Terdakwa merupakan pemilik sewa atas suatu rumah. Pada tahun 1965 terdakwa menyewakan rumahnya kepada saksi korban. Pada bulan juni 2002 saksi korban/penyewa meninggalkan rumah sewanya selama kurun waktu 2 bulan (tidak terlalu jelas apakah yang dimaksud 2 bulan atau kurun waktu juni s/d november). Pada bulan November 2002 terdakwa membongkar pintu rumah yang disewa tersebut dengan merusak kusen, pintu dan kunci rumah, kemudian menggantinya dengan kunci rantai sepeda. Ketika saksi korban mengetahui kejadian tersebut saksi korban mengganti kunci rantai sepeda yang dipasang Terdakwa dengan dengan kunci baru. Ketika saksi korban tidak ada dirumah Terdakwa kembali memaksa masuk ke rumah dengan jalan merusak kunci yang baru dipasang saksi korban. Atas perbuatan tersebut terdakwa didakwa dengan pasal 200 ayat 1 KUHP, pasal 406 KUHP, dan pasal 335 KUHP.
Pada tingkat pertama terdakwa dinyatakan terbukti atas dakwaan kedua (406 KUHP – pengerusakan barang) dan dihukum dengan hukuman penjara selama 6 bulan. Pada tingkat banding putusan PN dibatalkan, Pengadilan Tinggi menyatakan terdakwa tidak terbukti atas semua dakwaan. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan PT, MA memutus perbuatan terdakwa terbukti namun perbuatan tersebut bukan tindak pidana (onslaght). Putusan MA tersebut diputus pada tanggal 21 September 2005. Pada tanggal 28 Juli 2005 JPU mengajukan PK. Pada tanggal 19 Juni 2006 MA memutus permohonan PK tersebut, menyatakan membatalkan putusan kasasi. Dalam putusan PK tersebut MA menyatakan terdakwa terbukti melanggar pasal 406 KUHP dan dijatuhi hukuman penjara selama 4 bulan.
Pertimbangan MA
Menimbang, bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan apakah permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum/saksi korban/pihak ketiga yang berkepentingan tersebut secara formil dapat diterima, mengingat Pasal 263 ayat 1 KUHAP secara limitatief sekali, menentukan bahwa yang berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali hanya terpidana atau ahli warisnya dan putusan yang dapat dimohonkan Peninjauan Kembali tidak boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan hukum;
Menimbang, bahwa sehubungan dengan hal tersebut Mahkamah Agung menganggap perlu untuk mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa ditinjau dari teori dan praktek yurisprudensi, dibenarkan melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule maupun depature. Akan tetapi, ada yang berpendapat penafsiran ekstensif tidak dibenarkan dalam bidang hukum acara. Alasannya, hukum acara (terutama acara pidana) adalah “hukum public” yang bersifat “imperative”, prinsipnya sebagai hukum public yang bersifat imperative, berfungsi sebagai the rule of the game. Tidak boleh dikesampingkan melalui penafsiran luas oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ketentuan hukum acara tidak boleh dikesampingkan melalui tindakan diskresi (discretion) atau kebijaksanaan, tindakan yang seperti itu dianggap:
Mengakibatkan terjadinya proses pemeriksaan yang tidak sesuai dengan hukum acara atau undue process;
Dan setiap pemeriksaan yang undue process merupakan pelanggaran dan perkosaan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa;
Oleh karena itu, proses penyelesaian perkara yang menyimpang dari hukum acara, dikualifikasikan sebagai unfair trial (peradilan yang tidak jujur);
Bertitik tolak dari argumentasi ini, pada prisipinya tidak boleh melakukan penafsiran atau diskresi yang luas dalam penerapan hukum acara. Setiap tindakan yang mengesampingkan ketentuan acara, dianggap melanggar asas due process dan fair trial. Oleh karena itu, penafsrian luas terhadap hukum acara dapat menjerumuskan penegakan hukum ke arah : where law ends, tyranny begin (ungkapan ini tertulis pada pintu masuk Departemen of justice di Washington DC);
Sehubungan dengan itu, putusan No.55 PK/Pid/1996 yang mengembangkan (to growth) atau menyimpangi (overrule) ketentuan Pasal 263 KUHAP atas alasan kepentingan umum dan keadilan moral, tidak dapat dibenarkan karena melanggar prinsip due process dan fair trial serta sifat imperative yang menjurus kepada peradilan “tirani”;
Akan tetapi, sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang berifat imperative, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untukmencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice;
Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut, dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang diakui “imperative” , tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat “dilenturkan” (flexible) dikembangkan (growth) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality of justice and to reduce injustice.
Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini, Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi state decisis melalui “extensive interpretation”:
- Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberi hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” (…terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas);
- Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelasjelas bersifat contra legem atau “bertentangan dengan undang-undang “ (dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and to reduce in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa;
Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas., demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis Peninjauan Kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (injustice) karena didasarkan ada alasan “nonjuridis “ ( M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua, hal. 642 – 643 ) ;
2. Bahwa pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistim hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum ( rechtvorming ) dan penemuan hukum (rechtvinding ).Dengan kata lain, hakim/pengadilan dalam system hukum kita, yang pada dasarnya tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law ).Karena itu walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem yang terbuka (open system ). Fungsi membentuk hukum ( baru) oleh pengadilan/hakim diatas harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis ) tidak jelas atau tidak ada.( H.Pontang Moerad , Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana , Penerbit P.T ALUMNI, Edisi Pertama, Cetakan ke – 1, hal. 15 – 16 );
3. bahwa fungsi, kewajiban dan tugas dari Pengadilan/ hakim berdasarkan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 , dapat disimpulkan dari ketentuanketentuan sebagai berikut :
a). Pasal 5
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang.
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan
b). Pasal 16 ayat 1
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
c). Pasal 28 ayat 1 “ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “ ;
4. bahwa sejalan dengan jiwa ketentuan-ketetuan undang-undang tersebut adalah pendapat dari Hamaker dalam karangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet en Rechter yang antara lain menyatakan bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi Hymans (dalam karangannya Het recht der werklijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “ hukum dalam makna sebenarnya”( het recht der werkelijkheid) ( Acmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis),Cet.ke II (Kedua),2002,Hal .140 }.
5. bahwa dari putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 Nomor : 55 PK/Pid/1996 , tanggal 2 Agustus 2001 Nomor : 2 Agustus 2001 Nomor : 3 PK/PID/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Nopember 2001Nomor : 4 PK/PID/ 2000, dapat disimpulkan secara global alasan diterimanya secara formal permohonan Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan Pihak ketiga yang berkepentingan, sebagai berikut :
a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana/ahli warisnya akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle rechtsvervolging. Karena dalam konteks ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP.
b. Konsekuensi logis aspek demikian, maka Pasal 263 ayat 3 KUHAP yang menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak dikuti oleh suatu pemidanaan” juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehinga dalam hal ini adalah logis bila hak untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum.
c. Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan Hak Azasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali) dengan kepentingan Umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut dapat pula mengajukan permintaan Peninjauan Kembal terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, yang merupakan putusan bebas dan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum .Alasan ini adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep daad-dader-strafrecht yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu , kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.(Muladi,Kapita Selekta Hukum Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang,1995, hal.5) dan selaras pula dengan tujuan hukum dari pandangan hidup Pancasila , yaitu Pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun yang menjadi korban tindak pidana.
d. Berdasarkan asas legalitas dan pengawasan horizontal serta ketentuan pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 maka Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh Undang-Undang. Untuk mengisi kekosongan, kekurangan Hukum maka Pasal 263 ayat ( 1 ) KUHAP mengenai permohonan Peninjauan Kembali oleh hanya terpidana atau ahli warisnya dalam perkara pidana ini mesti dilenturkan berdasarkan kekurangan dan kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga permohonan peninjauan kembali oleh “Pihak Ketiga Yang Berkepentingan” sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP atau “Pihak Ketiga Yang Berkepentingan” dalam Pasal 21 UU Nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa Agung atau Pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.
e. Bahwa berdasarkan asas legalitas dan asas pengawasan horizontal dalam Pasal 80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 berikut penjelasan asasnya maka dalam acara pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan permohonan praperadilan ini Mahkamah Agung berlandaskan kebutuhan dan kekosongan hukum sehingga berakibatkan ketidakpastian hukum sekaligus merupakan suatu kebutuhan dalam acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali atas permohonan praperadilan maka ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai putusan pengadilan mesti dilenturkan kembali hingga mencakup putusan Pengadilan (dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP< Pasal 81 KUHAP) serta putusan praperadilan (Pasal 77 s/83 KUHAP) dan bukan hanya sekedar putusan pemidanaan yang telah berkekuatan tetap .
f. Meskipun hukum acara pidana tidak menganut asas stare decisis atau the binding force of precedent, namun untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision), Majelis Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali kasus Gandhi Memorial School) telah cendrung mengikuti putusan Peninjauan Kembali tanggal 25 Oktober 1996 Nomor : 55 PK/Pid/ 1996 dalam kasus Dr.Muchtar Pakpahan, SH,MA yang logika hukumnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (reasonable) dan in casu Mahkamah Agung akan pula mengikuti putusan Mahkamah Agung tanggal 20 November 2001 Nomor: 4 PK/PID/2000.
Bahwa alasan lain untuk mengikuti putusan – putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya tersebut , karena putusan – putusan a quo merupakan “ pedoman “ dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sama, dan selain itu merupakan pula sumber hukum dan pembentukan hukum ;
6. Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman tujuan hukum acara pidana, yaitu”Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan i.c khususnya Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum, korban tindak pidana dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan PeninjauanKembali. Sehingga akan ada pergeseran prespektif dari ketentuan hukum pidana yang offender oriented menjadi victim oriented, dan keadilan retributive menjadi keadilan sosiologis atau yang dikenal sebagai keadilan restoratif.
7. Bahwa berdasarkan kajian teoritik melalui pandangan doktrin dari Arif Gosita dan J.E.Sahetapy bahwa hak korban mempunyai hak antara lain berhak menggunakan upaya hukum (recht middelen), yang menurut Mahkamah Agung merupakan perlindungan korban kejahatan dalam ruang lingkup prosedural, yang telah dimiliki pula oleh Jaksa Penuntut Umum, yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun secara individual., akan tetapi apa yang dilakukannya dalam praktek peradilan sering tidak memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan.Sehingga karena itu bagi korban kejahatan baik secara kolektif maupun secara individual harus dapat diberikan upaya hukum, dan memperhatikan yurisprdensi tersebut diatas, upaya hukum yang dimungkinkan adalah Peninjauan Kembali
Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan Peninjauan Kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan saksi korban, sebagai bahan komparatif perlu dikemukakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Pasal 248 ayat 3 Undang-Undang No .31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan “;
2. Articel 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “ 1. The convicted person or , after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused ‘s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person”s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that …………………”
3. Article 203 dan 204 Criminal Procedure Law Of The People”s Republic of China No. 64 yang mulai berlaku sejak 17 Maret 1996 masing-m asing menentukan:
a. Articlel 203 “:A party or his legal representative or his near relative may present a petition to a People’ s Procuratorate regarding a legally effective judgment or order, however, execution of the judgment or order shall not be suspended “ ;
b. Article 204 “If a petition presented by a party or his legal representative or his near relative conforms to any of the following conditions , the People’ s Court shall retry the case “ ;
4. Article 148 Chapter V Procedure for Ajudication Supervision dari TheCriminal Law of The People ‘s Republic of China yang berlaku sebelum tahun 1996 menentukan “ Parties, victims and their family members orother citizens may present petitions regarding judgments or orders that have already become legally effective to the People’ s Court or the people” s procuratorates, but the execution of such judgments or orders cannot be suspended “
Menimbang, bahwa dalam hubungan dengan permintaan Peninjauan Kembali tersebut, Mahkamah Agung mengenai tujuan hukum akan mengikuti ajaran Radbruch yang menggunakan “ asas prioritas “ dimana prioritas pertama selalu “keadilan “ , barulah “ kemanfaatan “, dan terakhir barulah “ kepastian “ sehingga karena itu Mahkamah Agung dalam mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara membentuk hukum acara sendiri demi untuk keadilan, kemanfaatan dan baru kepastian hukum ;
Menimbang, bahwa untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, menerapkan asas hukum “ Pengayoman “ , dan asas dalam “ Model Keseimbangan Kepentingan “, memberikan perlindungan secara procedural kepada korban tindak pidana , dan mewujudkan keadilan sosiologis atau keadilan restorative , dengan memperhatikan yurisprudensi – yuriprudensi, doktrin – doktrin dan ketentuan perundang-undangan tersebut diatas , maka Mahkamah Agung akan melakukan penafsiran ekstensif atas Pasal 263 ayat 1 KUHAP jo Pasal 23 ayat 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004 , sehingga yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali bukan hanya terpidana atau ahli warisnya saja tetapi juga Jaksa Penuntut Umum , korban tindak pidana dan pihak ketiga yang berkepentingan dalam praperadilan , sedangkan istilah putusan pengadilan dilenturkan kembali hingga mencakup keputusan pengadilan (dalam Pasal 156, Pasal 81 KUHAP ), putusan praperadilan ( Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP) dan bukan sekedar pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap ;
permisi mas arsil saya mau Putusan MA No. 15 PK/Pid/2006 (Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih) yan ditulis di artikel ini dong,,
email: sekarlestari@ymail.com
mkasihh y!
putusan otw
mas dalam sekejap saya dah dapat nomor 16pk/pid/2010, tapi di ma se olah saya pemohonya. supaya ga jadi perhatian publik, tolong pantau omongan ketua ma , tentang kepentigan umum dan kerugian negara nya, trim
Pingback: Daftar Putusan PK dimana Pemohon PK adalah Jaksa Penuntut Umum « KRUPUKULIT
gan klu ada , mnta salinan putusan PK dari ram gulumal alias v.ram. ane cari di ma kagak ada..mhon ptunjuknya gan.. email saya di nathansebaztian77@gmail.com