Perangkap Tikus untuk Para Koruptor
Oleh Arsil[1]
(Tulisan untuk jurnal Jentera PSHK – 2006)
Pengantar
Seperti diketahui bersama korupsi merupakan salah satu masalah yang sangat besar yang dihadapi oleh bangsa ini. Korupsi tersebut tidak hanya terjadi di tingkat elit namun hampir dapat dipastikan masalah ini terdapat hampir diseluruh lapisan institusi negara ini. Tingkatan korupsi di masing-masing lapisan tersebut juga beragam, mulai dari korupsi yang jumlahnya kecil-kecilan, seperti korupsi dalam pembuatan SIM, KTP, dan perizinan-perizinan, hingga korupsi besar-besaran yang jumlahnya bisa mencapai angka triluyan rupiah. Bentuk tindak pidana ini juga cukup beragam, mulai dari mark-up pembelian-pembelian barang, penyuapan, kolusi, pemalsuan bukti pembayaran dan lain sebagainya.
Banyak upaya yang telah dilakukan untuk melakukan pemberantasan korupsi, mulai dari upaya-upaya pembenahan sistem khususnya sistem-sistem administrasi yang rentan praktek-praktek haram tersebut, pembenahan peraturan perundang-undangan, pembentukan tim-tim khusus maupun institusi khusus yang ditugaskan untuk melakukan pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) yang baru saja dibentuk oleh presiden SBY, bahkan kini kita mempunyai pengadilan khusus yang khusus hanya menangani perkara korupsi.[2]
Upaya-upaya tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam hal pembenahan peraturan perundang-undangan upaya ini telah dilakukan setidaknya sejak tahun 1970an, yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian telah diubah dengan UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2002. Selain itu pada tahun 1980 juga dikeluarkan satu undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana suap yaitu UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap, serta masih banyak lagi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya pemberantasan korupsi. Dalam hal pembentukan tim-tim khusus maupun institusi khusus, KPK maupun Tim Tastipikor sebenarnya bukan barang baru, sejak awal Orde Baru tim-tim serupa sebenarnya sudah pernah ada, bahkan mungkin hampir setiap dasawarsa dibentuk satu tim atau institusi khusus yang ditugaskan khusus untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun satu persatu tim-tim tersebut ternyata tidak dapat bertahan lama dan korupsi terus terjadi bahkan merajalela.
Untuk saat ini tentunya kita belum dapat menilai bagaimana kinerja KPK maupun Tim Tastipikor, apakah akan mengikuti sejarah yang telah gagal tersebut atau mampu merubah sejarah pemberantasan korupsi, tentunya diperlukan waktu untuk menjawabnya. Sementara itu yang dapat dilakukan adalah terus mengawasi kinerja kedua lembaga tersebut serta terus memikirkan alternatif-alternatif upaya pemberantasan korupsi. Tulisan ini ditujukan sebagai urun rembug pemikiran mengenai upaya pemberantasan korupsi tersebut.
Belajar Dari Kasus MWK
Berita mengenai tertangkap basahnya Mulyana W Kusumah (MWK) salah seorang anggota KPU ketika sedang menyuap salah seorang auditor BPK membuka peluang bagi munculnya satu wacana baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor). Wacana tersebut adalah perangkapan (entrapment) sebagai suatu teknik dalam upaya penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tipikor.
Dalam perkara di atas MWK (menurut versi KPK) menghubungi salah seorang auditor BPK yang bertugas melaksanakan audit investigasi laporan keuangan KPU untuk melakukan pertemuan di sebuah hotel. Dalam pertemuan tersebut MWK membawa sejumlah uang untuk diserahkan kepada auditor tersebut sebagai bentuk penyuapan agar auditor tersebut tidak mempermasalahkan laporan keuangan KPU atau setidaknya untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum. Namun tanpa sepengetahuan MWK ternyata auditor tersebut sebelumnya telah bekerja sama dengan KPK yang saat itu memang sedang melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi di tubuh KPU. Auditor tersebut kemudian berpura-pura akan menerima uang suap yang diberikan oleh MWK, dan KPK ternyata telah mempersiapkan alat-alat perekam audio visual untuk merekam proses penyuapan. Pada saat MWK selesai menyerahkan uang suap dimaksud kepada auditor BPK tersebut penyidik KPK yang pada saat itu memang telah berada di hotel tersebut kemudian langsung menangkap MWK. Dengan cara seperti ini akhirnya KPK berhasil mendapatkan bukti-bukti yang sangat kuat yang sulit untuk dibantah.
Apa yang menarik dari kasus tersebut? Saya mengistilahkan teknik yang dipergunakan oleh KPK dalam kasus di atas sebagai Teknik Perangkapan. Bayangkan jika apa yang dilakukan oleh KPK dalam kasus MWK di atas secara serius dipergunakan sebagai salah satu teknik dalam pemberantasan korupsi. Katakanlah misalnya KPK (atau Tim Tastipikor) memiliki tim khusus untuk melakukan perangkapan dalam hal tindak pidana korupsi. Tim ini kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama berfungsi untuk mencari informasi mengenai institusi-institusi negara apa saja yang selama ini rentan terjadi praktek-praktek KKN serta mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk melakukan perangkapan. Kelompok kedua terdiri dari sejumlah orang yang identitasnya dirahasiakan yang berfungsi sebagai agent provocateur yang memiliki tugas melakukan penyamaran.
Untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan memanfaatkan tim khusus ini KPK misalnya menetapkan tahapan-tahapan. Dalam tahap pertama misalnya target yang ingin dicapai adalah melakukan pemberantasan praktek-praktek suap yang ada di institusi-institusi birokrasi yang mempunyai kewenangan mengeluarkan berbagai macam perizinan. Pada institusi-institusi ini biasanya sangat rentan terhadap praktek-praktek KKN, selain itu insitusi ini merupakan institusi yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Seperti misalnya kantor pajak, kantor pertanahan, imigrasi, kepolisian dll. Terhadap institusi-institusi yang telah ditetapkan sebagai target operasi ini kemudian diturunkan para agen provokator untuk melakukan perangkapan-perangkapan.
Agen yang menyamar tersebut kemudian berpura-pura menawarkan sejumlah uang kepada aparat yang telah dicurigai sering menerima suap untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya. Untuk membuat perangkapan ini lebih sempurna sebelumnya uang tersebut telah diberi tanda khusus atau telah dicatat nomor serinya, serta agen tersebut juga dilengkapi dengan alat perekam. Kemudian jika aparat tersebut mau menerima tawaran dari agen yang menyamar tersebut setelah uang berpindah tangan pada saat itu juga dilakukan penangkapan. Seperti dalam kasus MWK, tim ini akan memiliki bukti yang sangat kuat untuk menjerat petugas tersebut.
Apa manfaat dari teknik perangkapan ini bagi pemberantasan korupsi? Terdapat setidaknya dua manfaat dari teknik semacam ini. Pertama cara dapat secara efektif ‘membersihkan’ institusi-institusi yang selama rentan dengan praktek-praktek KKN. Satu permasalahan akut yang dihadapi oleh birokrasi di negeri ini adalah cukup banyaknya oknum-oknum yang bermasalah. Selama oknum-oknum tersebut masih terdapat dalam institusi-institusi tersebut maka tentunya upaya-upaya pembenahan yang sistemik akan sulit untuk dilakukan, resistensi terhadap upaya pembenahan akan cukup tinggi karena hal tersebut akan menghilangkan sumber ekonomi mereka. ‘Pembersihan’ dari oknum-oknum semacam ini selama ini sulit untuk dilakukan, negara tentunya tidak bisa dengan serta merta tanpa alasan yang jelas melakukan PHK terhadap oknum-oknum tersebut, kecuali jika oknum tersebut terbukti melakukan suatu tindak pidana atau melakukan pelanggaran disiplin yang tergolong berat. Dalam hal yang terakhir ini salah satu kendala yang dihadapi biasanya terkait dengan masalah pembuktian. Namun jika teknik perangkapan ini diterapkan terhadap oknum-oknum tersebut, maka tentunya masalah pembuktian tidak lagi menjadi isu yang berarti.
Kedua, teknik ini dapat menjadi secara perlahan merubah budaya kerja birokrasi. Bukan rahasia lagi kalau saat ini budaya kerja birokrasi kita masih cukup buruk, praktek-praktek KKN disinyalir tumbuh subur di tempat-tempat tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya praktek tersebut yaitu karena selama ini cukup mudah untuk melakukan korupsi. Aparat birokrasi dengan kewenangan yang dimilikinya dapat membuat kondisi yang sedemikian rupa sehingga masyarakat terpaksa untuk menyuap aparat tersebut jika tidak ingin proses administrasi yang sedang dilaluinya dipersulit. Jika dalam institusi tersebut terdapat beberapa contoh kasus dimana terdapat beberapa oknum yang berhasil dijerat dengan menggunakan teknik perangkapan ini tentunya hal ini dapat berefek kepada aparat-aparat lainnya, khususnya bagi aparat-aparat yang dalam taraf potensial untuk berperilaku korup. Teknik ini memang tidak dapat merubah budaya kerja birokrasi tersebut jika hanya dilakukan satu atau dua kali, namun jika teknik ini sering dilakukan, misalnya beberapa kali dalam 1 bulan selama beberapa tahun, untuk menguji kepatuhan hukum para aparat tersebut, maka dapat menimbulkan rasa ‘ketidakpastian’ bagi para aparat tersebut, khususnya jika ia ingin menerima suap. Ia tentunya akan berfikir dua kali ketika akan menerima suap dari seseorang, karena bisa jadi orang yang akan memberi atau menerima suap tersebut adalah agen yang menyamar. Jika rasa ‘ketidakpastian’ tersebut telah melembaga maka secara perlahan diharapkan budaya KKN akan dapat berkurang.
Pengaturan Teknik Perangkapan di Indonesia
Dalam bidang pemberantasan tindak pidana narkotika maupun psikotropika sebenarnya teknik perangkapan ini sudah dikenal, seperti yang terdapat dalam pasal 56 huruf a UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan pasal 68 UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Dalam kedua undang-undang tersebut istilah yang dipergunakan adalah Teknik Penyidikan Penyerahan yang Diawasi dan Teknik Pembelian Terselubung. Memang, dalam kedua undang-undang tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan kedua teknik tersebut. Namun jika dilihat dari penerapannya pada hakikatnya kedua teknik ini merupakan steknik perangkapan.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana hukum di Indonesia mengatur mengenai teknik perangkapan khususnya dalam bidang korupsi, apakah ada suatu ketentuan mengenai hal ini dalam peraturan perundang-undangan kita? Jika melihat pada UU No. 30 Tahun 2002 ternyata memang belum ada satu ketentuan dalam undang-undang tersebut yang secara tegas menyatakan penyidik maupun penuntut umum dapat melakukan teknik perangkapan semacam ini. Begitu juga dalam KUHAP. Dalam pasal 7 ayat (1) huruf j hanya disebutkan penyidik memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Namun apakah ketentuan ini dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menerapkan teknik perangkapan dalam bidang korupsi tentunya masih debatable.
Mengingat belum adanya ketentuan yang jelas mengenai teknik perangkapan khususnya dalam bidang korupsi terdapat beberapa kemungkinan yang muncul jika teknik ini diterapkan. Kemungkinan yang pertama adalah agen provokator yang melakukan penyamaran tersebut dapat ikut dikenakan ancaman pidana. Misalnya saja agen provokator tersebut berpura-pura melakukan suap terhadap seorang pejabat negara atau aparat birokrasi tertentu, mengingat dalam hukum pidana aturan mengenai suap tidak hanya dapat menjerat penerima suap melainkan juga penyuap, maka hal ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi agen provokator tersebut. Tanpa ada dasar hukum yang cukup kuat yang dapat melegalkan teknik perangkapan ini khususnya dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi tentunya perlindungan hukum bagi para agen provokator atau penyamar tersebut masih kurang kuat.
Pembatasan Teknik Perangkapan
Seperti halnya teknik-teknik penyidikan lainnya, teknik perangkapan pada dasarnya juga rentan terhadap penyalahgunaan. Salah satu bentuk penyalahgunaan yang sangat mungkin terjadi adalah agen provokator mengkondisikan sedemikian rupa sehingga orang yang tadinya tidak memiliki niat untuk melakukan tindak pidana –dalam hal ini korupsi- menjadi terpaksa harus melakukan tindakan tersebut. Untuk menghindari penyalahgunaan teknik ini tentunya harus dibuat suatu batasan mengenai kapan teknik ini perangkapan ini dapat dianggap sah kapan teknik ini dapat dianggap tidak sah. Untuk mengetahui bagaimana sebaiknya pembatasan atas teknik perangkapan ini dilakukan ada baiknya kita melihat bagaimana pengaturan di negara lain.
Dalam sistem hukum Amerika Serikat tindakan penegak hukum dalam mempergunakan teknik perangkapan cukup dibatasi. Jika teknik perangkapan dinilai melampaui batas kewenangan yang dari penegak hukum, tersangka yang terjerat perangkap tersebut dapat mempergunakan alasan entrapment sebagai dasar untuk melepaskan diri dari tuntutan hukum. Untuk mengetahui sah atau tidak sahnya suatu tindakan perangkapan dari penegak hukum terdapat dua pendekatan yang berkembang, yaitu pendekatan Subyektif, atau Subjective Test dan pendekatan Obyektif atau Objective Test. [3]
Pada pendekatan subyektif perangkapan dapat diperbolehkan jika perangkapan dilakukan terhadap unwary criminal, sementara jika perangkapan dilakukan terhadap unwary innocent maka perangkapan tersebut tidak sah, dan tuntutan hukum karenanya dapat dibatalkan.[4] Untuk menilai apakah suatu perangkapan tersebut dilakukan terhadap unwary criminal atau unwary innocent tersebut maka yang harus dibuktikan adalah apakah pelaku sebelumnya telah memiliki track record atas suatu kejahatan. Selain itu harus terdapat kesesuaian antara track record tersebut dengan pelanggaran pidana yang dilakukannya karena perangkapan yang di set oleh penyidik. Misalnya jika seorang residivis kasus narkotik namun ia tidak memiliki track record dalam hal korupsi maka ia dianggap sebagai innocent dalam hal korupsi, sehingga perangkapan korupsi tidak dapat dilakukan terhadapnya.
Sebagai ilustrasi, dalam kasus United States vs. Russell,[5] terdakwa merupakan pembuat ampetamin secara illegal. Kemudian seorang agen yang menyamar mencoba menawarkannya bahan-bahan untuk memproduksi satu jenis narkotika yang sulit didapat. Terdakwa kemudian menyetujui tawaran agen tersebut. Dalam persidangan terdakwa mengajukan pembelaan bahwa ia dijebak oleh agen tersebut. Pengadilan akhirnya memutuskan menolak pembelaan tersebut karena melihat bahwa terdakwa memang memiliki track record sebagai pelaku kejahatan dibidang narkotik, atau dengan kata lain terdakwa termasuk dalam kategori unwary criminal.
Dalam kasus lain dimana perangkapan dianggap tidak sah karena dilakukan terhadap unwary innocent terjadi dalam kasus Sorells vs. United States.[6] Dalam Kasus ini terdakwa didakwa karena menjual setengah galon wiskey kepada seorang agen yang menyamar sebagai turis. Penjualan tersebut dilakukan karena sang agen yang saat itu bertamu ke rumahnya menanyakan kepada terdakwa apakah ia bisa menolongnya untuk membelikan sejumlah wiskey. Pada saat itu terdakwa menolak permintaan agen tersebut. Kemudian agen tersebut kembali mencoba memintanya lagi namun terdakwa masih tetap juga menolak. Pada permintaan ketiga akhirnya terdakwa memenuhi permintaan sang agen. Dalam kasus ini Supreme Court Amerika akhirnya membatalkan perkara tersebut karena dianggap terdakwa tidak terbukti sebelumnya memiliki track record dalam hal penjualan minuman keras serta perbuatan tersebut dilakukan karena permintaan yang berulang-ulang dari agen yang menyamar tersebut.
Jika pada pendekatan subyektif penekanan untuk membuktikan terletak pada kondisi jiwa pelaku, pada pendekatan obyektif penekanan pembuktian terletak pada tindakan dari agen yang menyamar dalam melakukan upaya perangkapan. Tindakan perangkapan dianggap tidak sah jika tindakan tersebut dilakukan berdasarkan common sense jauh dibawah standar kewenangan yang dapat diperbolehkan. Untuk mengujinya maka pertanyaannya adalah apakah tindakan agen tersebut secara hipotetis dapat mendorong seseorang yang jika ia tidak didorong oleh agen tersebut tidak akan melakukan tindakan tersebut atau tidak. Jika tindakan tersebut dinilai dapat juga mendorong orang yang tidak akan melakukan perbuatan dimaksud jika ia tidak didorong oleh agen tersebut maka perangkapan dianggap tidak sah.
Jika dilihat dari sistem di Amerika tersebut memang terdapat perbedaan tradisi antara sistem hukum yang dianut oleh Indonesia dengan Amerika. Dalam tradisi sistem hukum Amerika pengaturan pembatasan tersebut berkembang dalam yurisprudensi-yurisprudensi, sementara dalam tradisi hukum kita tentunya pengaturan-pengaturan semacam ini akan lebih tepat jika dimasukkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jika teknik perangkapan ini akan diterapkan dalam pemberantasan korupsi maka pengaturan mengenai teknik ini dapat dibentuk khusus atau dimasukkan dalam perubahan undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, seperti misalnya UU KPK.
Mengenai materi pengaturannya sendiri kita dapat belajar dari pengalaman di Amerika tersebut, seperti misalnya perangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang sebelumnya telah dicurigai akan melakukan tindakan yang akan dikenakan perangkapan. Tentunya sulit jika perangkapan hanya dapat dilakukan terhadap residivis, apalagi dalam perkara korupsi, mengingat saat ini walaupun disinyalir jumlah koruptor di Indonesia sangat banyak namun hanya sedikit yang secara hukum telah terbukti. Oleh karena dalam konteks Indonesia tampaknya hal ini perlu sedikit diperlunak. Selain itu, sebagaimana halnya penggunaan teknik perangkapan dalam tindak pidana narkotik dan psikotropika, perangkapan dalam bidang tindak pidana korupsi juga harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan penegak hukum dimaksud, semisal KPK. Rambu-rambu lainnya yang dapat diatur misalnya agen provokateur tidak boleh melakukan pemaksaan terhadap tersangka yang dijadikan target perangkapan dan lain sebagainya.
[1] Pejabat Sementara Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.
[2]Walaupun perkara korupsi yang ditangani hanya sebatas perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK, sementara untuk perkara korupsi lainnya yang penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap disidangkan di pengadilan biasa.
[3] Dressler, Joshua. Understanding Criminal Procedure, Second Edition. Lexis Publishing, Mathew Bender & Co. New York 1996, hal. 497.
[4] Ibid. Hal. 498.
[5] Ibid. hal 497.
[6] Prasel, Frank R, Criminal Law, Justice and Society, Goodyear Publishing Company , California 1937 hal. 91-94.
salam kenal dari Perhimpuana Mahasiswa Bandung
salam kenal juga
tulisannya bagus, boleh donk kirim tulisannya ke majalah swara adhyaksa. ku tunggu…..
wah dulu itu uda dimuat di jurnal Jentera tuh mbak