Mungkin hampir semua orang yang berlatar belakang pendidikan hukum mengetahui bahwa dalam hubungan perjanjian ketika salah satu pihak melakukan wanprestasi atau ingkar janji maka masalah ini adalah masalah hukum keperdataan bukan hukum pidana. Pihak yang dirugikan berhak untuk menggugat pihak yang dipandang wanprestasi melalui peradilan perdata, bukan melaporkan masalah tersebut ke kepolisian.
Ketika saya menonton sebuah acara infotainmen sontak saya terkejut dengan berita mengenai kasus yang dialami oleh Aura Kasih, salah seorang selebriti yang sedang naik daun. Dalam berita tersebut diberitakan bahwa AK dilaporkan ke kepolisian karena dirinya membatalkan perjanjian secara sepihak dengan pihak penyelenggara suatu acara di Makassar. Cerita agak lengkapnya kira-kira seperti ini, Pihak penyelenggara suatu acara di Makassar melakukan perjanjian dengan pihak AK untuk manggung di suatu acara ulang tahun suatu bank di Makassar. Di hari H ternyata AK tidak kunjung hadir, walhasil acara menjadi rusak, malu harus ditanggung oleh Penyelenggara yang telah mempromosikan acara tersebut serta menjanjikan kehadiran AK sebagai bintang tamu kepada pihak Bank sebagai si empunya hajatan.
Menurut infotainment tersebut AK sebenarnya sudah hampir berangkat ke Makassar untuk memenuhi kewajibannya, namun mendadak di bandara ia memutuskan untuk tidak jadi berangkat tanpa alasan yang jelas. Sementara crew-nya yang tidak paham alasan batalnya kepergian si AK tetap berangkat, mungkin dengan sedikit kebingungan, buat apa mereka harus ke Makassar jika artisnya sendiri ternyata tidak jadi berangkat. Karena marah, pihak penyelenggara kemudian meminta pertanggung jawaban dari pihak AK. Mereka menuntut permintaan maaf serta membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Permintaan maaf dipenuhi oleh AK, namun mengenai ganti rugi ditolaknya karena dipandang terlalu besar. Negosiasi mengalami jalan buntu. Karena tak ada kata sepakat, pihak penyelenggara kemudian melaporkan AK ke kepolisian dengan alasan penipuan atau penggelapan.
Penipuan atau penggelapan? Kok bisa? Sudah terang benderang kasus tersebut merupakan masalah perdata bukan pidana. Mengapa pihak pengacara penyelenggara melaporkan ke kepolisian? Sebagai seorang yang pernah makan bangku fakultas hukum walaupun tidak habis saya merasa heran bukan kepalang, seakan intelektualitas saya sendiri yang sedang dilecehkan, walaupun kasus tersebut tidak menimpa saya. Kok bisa seorang pengacara yang katanya sekarang telah berstatus sebagai penegak hukum yang justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum itu sendiri? Kira-kira seperti itu pikir saya saat itu. Tak hanya itu, yang jauh lebih menyedihkan, pihak kepolisian menerima laporan tersebut dan menindaklanjutinya.
Saya membayangkan jika laporan pidana tersebut lanjut hingga ke pengadilan dan saya adalah penasihat hukum dari pihak AK maka saya akan mengajukan eksepsi dengan alasan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili karena masalah ini adalah masalah perdata bukan pidana. Dan jika seandainya saya hakim yang mengadili perkara tersebut perkara akan saya putus lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechts vervolging) atau menyatakan dakwaan tidak dapat diterima jika terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan eksepsi.
Namun itu jika saya sebagai hakim atau penasihat hukum dari terdakwa dan sudah masuk persidangan. Terkesan mudah bukan?
Ya di atas kertas. Bagaimana kira-kira di lapangan?
Penipuan atau penggelapan. Pasal 378 dan 372 KUHP. Keduanya berdasarkan pasal 21 ayat 4 huruf b UU No. 8/1981 aka KUHAP merupakan delik yang dapat dikenakan penahanan. Apa yang dapat terjadi jika saya adalah AK dalam kasus ini sebelum perkara pidananya sampai ke meja hakim? Karena baik penipuan maupun penggelapan dapat dikenakan penahanan maka tentunya hal itu sangat mengkhawatirkan saya. Tidak ada orang yang mau mendekam dalam ruang tahanan tentunya. Berada dalam ruang sempit bersama orang-orang yang tak saya kenal yang sebagian mungkin memang benar-benar penjahat. Tak bisa ke Mall, tak bisa tidur-tiduran di rumah, makan enak di rumah makan favorit, jalan-jalan sesuka hati dan segala macam aktivitas sehari-hari lainnya. Kebebasan saya akan dirampas oleh negara. Kebebasan, kata yang biasanya baru kita rasakan maknanya setelah ia dirampas dari kita. Untuk berapa lama kebebasan tersebut dapat dirampas dari saya? 20 hari di tahap penyidikan, yaitu ketika perkara masih ditangan pihak kepolisian. 20 hari berarti 3 minggu kurang 1 hari. 6 jam terkurung dalam kamar sendiri saja mungkin rasanya seperti sebulan. 2 jam terkurung bersama orang yang tak saya kenal, yang mungkin benar-benar penjahat mungkin rasanya akan lebih dari 1 bulan. Ini 20 hari. Tak cukup 20 hari, penyidik masih bisa memperpanjang masa penahanan tersebut hingga 40 hari. 40 hari berarti 1 bulan 10 hari. Lebih dari masa puasa di bulan ramadhan. Total berarti 60 hari di tahap penyidikan. 2 bulan.
Cukupkah 2 bulan? Ternyata belum. 2 bulan itu hanya pada tahap penyidikan. Ketika berkas telah sampai ke pihak kejaksaan, penuntut umum masih bisa menahan saya lagi, 20 hari lagi. Total 80 hari. 3 bulan kurang 10 hari. Cukup? Masih belum juga ternyata. Penahanan saya masih dapat diperpanjang selama 30 hari lagi. 110 hari totalnya. 4 bulan kurang 10 hari. Kalau kuliah berarti kira-kira 1 semester masa kuliah bisa hilang. Apa rasanya tekungkung dalam satu ruangan sempit bersama orang-orang yang saya tak kenal untuk waktu selama itu? Saya sepertinya tak bisa menggambarkannya sebaik Sartre dalam No Exit nya atau Hamdan ATT dalam lagu Tembok Derita-nya, maklum, belum pernah di tahan atau terkunci di kamar.
Apakah saya pasti ditahan? Tidak. Pasti kah saya tidak ditahan? Tidak juga. Saya akan berada dalam perasaan penuh ketidakpastian jika saya yang mengalami kasus seperti yang dialami oleh AK. Apakah jawaban saya bisa atau tidak bisa ditahan dapat saya peroleh dari pengacara saya karena tentunya pengacara saya lebih tahu masalah hukum dari saya?
Jika saya mengambil peran lagi sebagai pengacara AK, jawaban apa yang bisa saya berikan? Hmmm…jawaban saya mungkin “menurut hukum acara pidana, anda baru dapat ditahan jika dikhawatirkan anda akan melarikan diri, menghilangkan atau merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana. Selain itu polisi juga harus memiliki bukti permulaan yang cukup dan ada surat penahanannya.” Oke, saya tidak akan melarikan diri dan lainnya, berarti saya tidak akan ditahan? Mungkin itu pertanyaan lanjutan dari AK. “Hmmm…bukan anda yang menentukan apakah anda dikhawatirkan akan melarikan diri dsb, tapi penyidik.” Bagaimana penyidik bisa menentukannya? Hmmm…ya, itu kewenangan sepenuhnya dari penyidik lah. Bagaimana menentukannya saya juga tidak bisa memastikan.
Jadi, apakah saya bisa atau tidak bisa ditahan? Masa’ saya harus mendekam di tahanan selama berbulan-bulan untuk suatu perkara yang sudah kita tahu sama tahu bahwa ini bukanlah perkara pidana? (Dengan nada menyerah) Ya, saya tidak bisa memastikannya, itu semua kewenangan penyidik.
Oke, kalau begitu apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan agar saya tidak ditahan? Ya, nanti kalau anda benar-benar di tahan kita bisa minta penangguhan penahanan. Nanti kata anda?! Nanti kalau sudah ditahan?! Lalu, jika seandainya saya di tahan, apakah pasti saya bisa mendapatkan penangguhan penahanan? Hmmm…ya tergantung si penyidik. Tergantung si penyidik lagi?!
Ada cara lain sih, kita bisa ajukan permohonan praperadilan untuk menguji kewenangan penahanan si penyidik. Oo begitu? Bagaimana itu prosesnya? Ya kalau anda ditahan kita susun surat permohonannya, lalu kita masukan ke pengadilan negeri. Setelah itu nanti akan ditunjuk hakimnya, kemudian setelah itu baru kita sidang.
Oke, sedikit harapan. Jadi nanti saya hanya cukup merasakan indahnya ruang tahanan selama 1 hari saja kalau pengadilan memutus penahanan atas saya tidak sah? Hmmm…lebih dari 1 hari sih mbak. Kita butuh 1 hari untuk bikin permohonan, katakanlah setengah hari, lalu kita kirim ke pengadilan. Setelah di register, ya mungkin paling cepat 1 hari Ketua Pengadilan akan menunjuk hakimnya. Paling lama 3 hari setelah permohonan kita daftar hakim harus sudah menentukan hari sidang, kapan sidangnya ya tergantung dari penetapan hakim, bisa besoknya, bisa lusa, bisa minggu depannya. Kalau sudah mulai sidang ya agenda pertama kita bacakan permohonannya, kemudian mendengar keterangan dari penyidik dan lain sebagainya. Pokoknya, proses persidangan tidak boleh lebih dari 7 hari. Apakah hanya akan memakan waktu 1 hari atau 7 hari, semua tergantung proses. Bisa saja penyidik kemudian mengajukan eksepsi untuk memperlama proses, atau sengaja tidak hadir. Kemungkinan itu terbuka.
Ooo begitu…ok, lama juga ya? Selama proses praperadilan tersebut tentunya saya harus dibebaskan dulu dong dari tahanan, kan kita lagi gugat keabsahan penahanannya? Hmmm…nggak mbak, mbak akan tetap ditahan. Ya pada saat sidang sih akan keluar dari tahanan, untuk sidang, tapi setelah sidang ya balik kandang lagi. HAAAH!!! Jadi kalaupun kita gugat penahannya, saya masih akan tetap merasakan penahanan lebih dari 1 minggu??? Yup (dengan gaya sedikit plenga plengo). TAPI KAN INI MASALAH PERDATA!!! (saya sebagai pengacaranya: plenga plengo) Ya, aturannya begitu mbak.
Ada cara lain sih mbak. Apa itu? Ya bayar tuntutan si penyelenggara. Ooo gitu…lalu saya jadi tidak bisa ditahan, perkara pidana saya berhenti? Hmmm…ya ga juga sih, bisa saja perkara lanjut. Lha? Kan kita sudah damai? Kalau si pelapor tidak mau mencabut laporannya ya saya ga mau damai lah kalo gitu. Ya pelapor memang bisa mencabut laporannya, tapi ini bukan delik aduan mbak, jadi bukan pelapor yang menentukan lanjut tidaknya perkara, tapi penyidik. Penyidik lagi? Besar kali kewenangan dia?!! Terus, saya berarti tetap masih bisa ditahan juga? Ya juga sih.
Jahatkah pihak penyelenggara karena melaporkan sengketa yang sebenarnya perdata ini ke pihak kepolisian yang kemudian dapat menempatkan posisi si AK yang penuh ketidakpastian tersebut? Bagaimana jika saya dalam posisi mereka, posisi si penyelenggara?
Sebagai event organizer yang disewa oleh suatu bank terkemuka untuk menyelenggarakan suatu acara tentunya jika saya sebagai pihak penyelenggara harus bisa menunjukkan kredibilitas saya, serta bertanggung jawab atas kesuksesan acara. Jika telah menjanjikan bahwa saya sanggup menghadirkan seorang artis terkemuka saya harus dapat menepatinya. Tidak hanya nama baik saya yang ada dipundak saya, namun juga nama baik pihak yang menyewa saya. Tentu bukan nama saya yang akan diingat oleh para penonton yang hadir dalam acara tersebut, namun nama klien saya.
Artis yang saya sewa ternyata ingkar janji, yang hadir hanya para crew-nya saja. Untuk apa para crew tersebut? Sengketa hukum kini timbul. Kerugian ada di pihak saya, kesalahan ada di pihak artis. Setidaknya dalam pandangan saya sebagai EO. Secara hukum saya berhak menuntut pemenuhan janji, ganti kerugian, maupun penalty. Pemenuhan janji tentu sudah tak mungkin lagi, acara telah selesai. Kini tinggal ganti kerugian dan penalty. Semua telah ada di surat perjanjian, tinggal mengeksekusinya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mengeksekusinya?
Kita somasi dulu mbak, mungkin itu jawaban pertama dari penasihat hukum si EO. Kita kasih dia waktu ya 3 hari lah untuk memenuhi somasi kita. Kalau dia memenuhi somasi kita mungkin dia ga langsung memenuhi semua tuntutan mbak, biasanya sih negosiasi dulu. Terus kalau negosiasi gagal? Ya kita gugat dia ke Pengadilan. Gugat ke Pengadilan? Ok, berapa lama kira-kira? Pertama ya kita musti nyiapin Surat Gugatannya dulu, ya sehari mungkin bisa lah. Terus kalau sudah siap kita masukin ke Pengadilan. Setelah itu kita tunggu panggilan. Berapa lama kita akan dipanggil? Pastinya kurang tahu juga mbak. Yang jelas pertama Panitera akan meregister dulu, kemudian kasih tau Ketua Pengadilannya untuk penunjukkan majelis hakimnya. Setelah berkas di tangan Ketua Majelis nanti Ketua Majelis yang akan menetapkan sidang pertama. Ya paling cepat sidang pertama itu 3 hari setelah penetapan majelis lah, soalnya panggilan sidang butuh waktu 3 hari. Nanti kalau sudah masuk sidang pertama dan para pihak hadir, Ketua Majelis akan minta kita melakukan mediasi dulu. Mediasi? Kan kita sudah melakukannya dan gagal? Kita maju ke Pengadilan kan karena mediasi atau negosiasi gagal? Kenapa harus di mediasi lagi? Ya aturannya begitu mbak.
Oke, kalau begitu berapa lama mediasinya?
Kalau waktu yang fix sulit ditentukan mbak, tapi sebagai gambaran prosesnya begini, pada sidang pertama tadi, ketua majelis kan menyuruh kita melakukan mediasi, nah dalam waktu paling lama 2 hari setelahnya kita harus sudah menunjuk mediator yang kita sepakati bersama. Kalau kita gagal dalam menetapkan mediator nanti pengadilan yang akan menunjuk mediatornya. Setelah itu paling lama 5 hari setelah penunjukkan mediator para pihak menyerahkan resume perkara versi masing-masing ke mediator. Setelah itu masuk tahap mediasi. Proses mediasi paling lama 40 hari, bisa diperpanjang 14 hari lagi.
Kalau mediasinya gagal? kalau gagal atau kalau sampai jangka waktu tadi ternyata belum ada kata sepakat nanti mediator akan membuat surat tertulis yang menyatakan bahwa mediasi gagal. surat tersebut akan disampaikan ke Ketua Majelis yang tadi sudah ditunjuk sama pengadilan. Setelah dinyatakan gagal baru kita masuk ke persidangan gugatan perdatanya.
Hmmm…agak lama juga ya proses mediasinya. Nah, mediasi kita yang sebelumnya udah kita lakukan itu tidak bisa dianggap sebagai mediasi jadinya? Maksudnya supaya kita bisa langsung ke persidangan saja tidak perlu mediasi lagi. Tidak bisa mbak.
Oke, lalu berapa lama proses persidangannya? Hmmm…sekali lagi soal waktu tergantung proses sih mbak. Ok, bagaimana prosesnya? Setelah mediasi dinyatakan gagal nanti Majelis akan manggil kita lagi untuk sidang kedua. Di sidang kedua nanti kita akan membacakan surat gugatan. Setelah itu nanti di sidang selanjutnya kita akan mendengar Jawaban dan Eksepsi dari Tergugat. Setelah itu kita bisa menanggapi eksepsi tersebut, namanya replik. Atas replik tergugat bisa menanggapi lagi, yaitu duplik. Kalau proses itu sudah selesai nanti baru masuk proses pembuktian. Setelah pembuktian selesai kita akan buat kesimpulan, baru setelah itu putusan. Masing-masing proses kecepatannya tergantung juga dengan hakim dan pihak lawan. Kalau pihak lawan tidak hadir ya biasanya sidang akan ditunda, dan biasanya penundaan tersebut untuk waktu 1 minggu.
Oke, setelah putusan, kalau kita menang, selesai dong? Hmm..ga juga, tergugat kalau kalah masih bisa banding ke Pengadilan Tinggi. Atas putusan banding kalau ternyata tergugat kalah dia masih bisa kasasi lagi.
Berapa lama waktunya tuh? Masak untuk masalah sepele seperti ini yang sudah jelas-jelas lawan kita yang salah panjang sekali prosesnya? Wah kalau urusan banding dan kasasi ga jelas juga tuh waktunya mbak, bisa 1 tahun bisa lebih? 1 TAHUN? Yah, tahu begini mending kita ga pake si AK, tapi gimana kita tahu dia akan seperti ini? Kok jadi repot ya? Ga ada yang lebih cepat nih penyelesaian masalahnya? Kerjaan kita kan banyak juga, kalau sampai 1 tahun lebih hanya untuk ngurusin kasus ini saja ya repot lah, belum lagi biaya yang harus keluar. Berapa biaya yang kita harus keluarkan untuk membayar anda selama 1 tahun lebih itu? Nanti begitu kita menang, uang ganti ruginya habis buat bayar anda saja lagi?
Ada cara yang agak cepat sih, tetap pake cara hukum tapi bukan mekanisme yang sebenarnya tepat. Ok, apa itu? Saya pokoknya ga mau pake preman mas. Kita laporkan saja dia ke Polisi. Alasannya apa, kan ini masalah perdata, kok dibawa-bawa ke polisi segala? Bukannya kalau ke polisi itu kalau untuk urusan pidana ya mas? Ya kita laporkan saja dia melakukan penipuan atau penggelapan. Nanti kita minta sama polisinya untuk menahan dia kalau tidak mau bayar ganti rugi. Lha, nanti kalau sampai ke pengadilan kan akan diputus bebas karena ini bukan masalah pidana? Ya itu kan kalau sampai ke pengadilan. Proses sampai ke pengadilan akan makan waktu berapa lama? Selama proses itu kan dia akan ditahan, apa mau dia ditahan selama itu? Kalau mau ya terserah, paling tidak dia merasakan ruang tahanan lah, tokh gugatan perdata juga tetap kita masukkan kok. Wah, mas pintar juga nih. Ya, mau cara apa lagi?
-0-
wahahaha.. *ngebayangin kerjaan si adpokatss*
tulisan yang komprehensif dgn bahasa novel yg menabrak aturan penulisan novel. Cemerlang.