Kaki saya terasa seperti ada yang menendang-nendang. Ternyata benar. Iwank senior angkatan FHUI 93 membangunkan saya di ruang senat dengan menendang-nendang kaki saya. Entah sudah jam berapa pagi itu. Saya tak sendirian di ruang senat FHUI, ada beberapa teman yang juga tidur di ruang itu. Kami menginap di kampus setelah malam sebelumnya pulang dari gedung MPR/DPR.
“Udah punya presiden baru loe.” Kalimat yang masih terngiang-ngiang hingga hari ini yang keluar dari mulut Iwank. Dan itu adalah kalimat yang pertama kali terucap dari mulutnya setelah melihat saya terbangun. Atau setidaknya itu kalimat pertama yang saya dengar. Tak ada perasaan gembira, hanya hampa. Entah. Saya langsung menuju ruang Mahalum, tak jauh dari ruang Senat, untuk melihat apa yang terjadi di TV. Soeharto benar-benar mundur, atau lengser ke perabon dalam bahasanya. Hanya sekilas saya melihat tontonan tersebut, selanjutnya kembali hampa.
Sebagian besar teman-teman yang juga selama itu aktif dalam aksi-aksi juga terlihat bingung. Tak ada teriakan-teriakan kegembiraan. Entah. Semua terjadi begitu cepat, tak sesuai perkiraan atau harapan. Soeharto mundur, bukan dijatuhkan.
Saya kemudian pulang ke kostan, di daerah Kukusan Teknik. Jalanan kampus begitu sepi, begitu juga dengan Kukusan Teknik. Memang wajar, karena semua fakultas diliburkan, sejak kerusuhan 13-15 Mei. Dan mungkin juga para warga asli kukusan sedang menonton TV, memantau perkembangan yang terjadi di Istana.
Setelah mandi saya kemudian menuju kamar Botol dan Sandi, yang letaknya diseberang kostan saya. Keduanya juga mengalami perasaan yang sama dengan yang saya rasakan, hampa, bingung. Bukan bergembira seperti para Mahasiswa yang detik itu sedang berpesta di gedung MPR/DPR merayakan mundurnya sang presiden yang telah memerintah selama 32 tahun itu.
Apakah kami tidak menghendaki Soeharto mundur? Tentu. Tapi serasa ada yang salah dengan mundurnya Soeharto hari itu. Apakah itu? Entah. Mungkin kami merasa ada sesuatu yang telah diambil alih dari tangan kami oleh entah siapa. Mungkin.
Kami kemudian memutuskan untuk pergi ke Posko KBUI, berharap ada sesuatu di sana, apakah informasi tentang sikap KBUI atau apalah, yang jelas kami ingin mendapatkan kejelasan apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Ternyata kosong. Hanya ada beberapa orang yang saya lupa siapa orang-orang tersebut. Dan sama halnya dengan kami, mereka juga bingung. Tak ada kejelasan akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke rumah, ke daerah Palmerah.
Perasaan bingung masih menyelimuti saya selama perjalanan. Di sebagian perjalanan saya tertidur, seperti biasa, hingga terbangun di beberapa ratus meter menjelang gedung MPR/DPR. Semua penumpang bis berdiri, mencoba melihat keramaian yang ada di dalam halaman gedung tersebut. Saya hanya duduk, tak berusaha untuk melihatnya, walau baru semalam saya pulang dari gedung itu.
Sampai di depan komplek, bertemu dengan Ibu Sri Haryono, tetangga sebelah-depan rumah, wajahnya begitu sumringah. Saya hanya tersenyum, seperti biasa jika bertemu dengan tetangga. Tiba-tiba ia menghampiri dan berkata “Selamat ya Cil, Soeharto sudah turun” sambil menyodorkan tangannya untuk memberi selamat. Saya hanya tersenyum dan menyambut tangannya.
Begitu sampai di rumah langsung masuk kamar, tentu setelah sedikit bercakap-cakap dengan orang rumah. Perasaan hampa masih tetap menyelimuti. Ada sesuatu yang salah, tapi entah apa itu. Tak berapa lama, saya tertidur.