Sedikit Catatan Atas Pendirian Partai Politik


(Lanjutan tulisan Suatu Pemikiran Tentang Partai Politik Lokal)

Pagi ini saya saya menonton Apa Kabar Indonesia Pagi di TVOne dengan topik seputar biaya kunjungan kerja DPR. Narasumber di acara tersebut anggota DPR dari fraksi PDIP, Trimedya Panjaitan dan salah seorang aktivis Fitra (Forum Transparansi Anggaran).

Pembawa acara memulai dengan menceritakan adanya kenaikan anggaran bagi DPR untuk melakukan kunjungan-kunjungan kerja baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Menanggapi hal itu Trimedya menyatakan bahwa khususnya untuk anggaran kunjungan kerja di dalam negeri (reses) walaupun sudah naik namun banyak anggota DPR yang merasa masih kurang. Hal tersebut dikarenakan masing-masing anggota merasa harus memiliki kantor perwakilan (rumah aspirasi) di masing-masing Daerah Pemilihannya (Dapil), sementara itu biaya untuk memelihara kantor perwakilan tersebut tentunya tidak sedikit, untuk menyewa kantor, menggaji staf dll. Dan anggaran kunjungan kerja (reses) yang ada tidak memadai untuk membiayai itu semua.

Sepertinya masuk akal. Terpuji sekali anggota DPR yang memiliki kantor perwakilan (Rumah Aspirasi) di masing-masing Dapilnya. Tentunya harus di support anggota DPR yang membuka rumah aspirasi di masing-masing Dapilnya, karena berarti memiliki itikad baik untuk mau benar-benar mewakili kepentingan konstituennnya masing-masing.

Eh tapi tunggu dulu. Jika anggota DPR yang notabene merupakan anggota dari partai politik merasa membutuhkan rumah aspirasi, lalu apa fungsi partai politik itu sendiri? Bukankah di masing-masing dapil terdapat perwakilan partai, apakah itu kantor DPC, DPD dll?

“Ya tapi kan belum tentu orang-orang d DPC dll itu sejalan dengan si anggota DPRnya”

Ooo gitu ya? Itu urusan internal masing-masing partai bukan? Kalau koordinasi internal partai anda buruk apa salah negara? Apa negara kemudian harus memberikan kompensasi anggaran kepada anda agar hubungan anda dengan dapil anda lancar?

“Realitanya ga seperti itu bung, kita kan masih belajar berdemokrasi”

Hmmm…masuk akal sih. Tapi kenapa dalam perubahan UU Partai Politik (UU No. 2 Tahun 2011) syarat pendirian partai politik malah semakin dipersulit? Jika sebelumnya di UU No. 2 Tahun 2008 untuk mendirikan partai politik (mendapatkan keabsahan sebagai Partai Politik yang berbadan hukum) harus memiliki perwakilan di 60% propinsi (berarti 18 atau 19 propinsi), di setiap propinsi tersebut harus memiliki perwakilan di 50% kabupaten/kota yang ada, dan 25% dari kecamatan yang ada di masing-masing kabupaten/kota tersebut kini persyaratan tersebut menjadi 100% propinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% dari kecamatan. Semakin berat bukan?

Jika kita masih belajar berdemokrasi, mengapa partisipasi publik untuk berpolitik (berdemokrasi) justru dipersulit? Syarat yang demikian membuat untuk mendirikan partai politik harus memiliki dana yang sangat banyak yang tentunya tidak banyak orang atau kelompok orang yang memiliki dana sebanyak itu. Yang pada akhirnya hanya elit-elit tertentu (terutama pengusaha) yang bisa memenuhi syarat tersebut, atau setidaknya di support (baik secara terbuka maupun tidak) oleh elit-elit maupun pengusaha besar. Dan hal ini tentunya membuat partai politik semakin berjarak dengan konstituennya, bahkan juga kader-kadernya sendiri, oleh karena partai tidak tumbuh secara alamiah dari bawah namun top-down.

Agak kurang paham saya apa logika dibalik diperberatnya syarat pendirian partai politik tersebut. Jika membaca bagian Penjelasan Umum dari UU 2 Tahun 2011 dinyatakan bahwa perubahan tersebut dilakukan untuk mengefektifkan dan mendukung sistem presidensiil, yaitu dengan cara menata dan menyederhanakan sistem multipartai. Ok, masuk akal. Tapi partai politik tentu tidak melulu berbicara mengenai pemilihan anggota DPR-RI maupun Presiden, namun juga DPRD tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota, dan sistem presidensiil tidak ada hubungannya dengan hal ini. Untuk mendorong tumbuhnya partisipasi publik yang lebih substantif seharusnya syarat pendirian partai politik, khususnya untuk mengisi legislatif di tingkat propinsi dan kabupaten/kota justru dipermudah. Jika demokrasi di tingkat lokal sudah bisa berjalan secara efektif, hubungan antara konstituen dan perwakilannya sudah terbangun dengan baik, maka perbaikan di tingkat pusat pun menjadi lebih mudah.

Di perberatnya syarat pendirian parpol di saat para anggota DPR sendiri juga merasa hubungan mereka dengan konstituennya masih sangat berjarak bahkan hubungan mereka dengan sesama kader di dalam partainya pun masih belum terbangun dengan baik membuat saya curiga, tujuan di balik UU Partai Politik (baik yang lama maupun perubahannya) adalah mempertahankan dan memperkuat sistem oligarki yang berlangsung saat ini. Sistem politik dibuat sedemikian rupa sehingga hanya elit-elit tertentu dan pengusaha-pengusaha besar saja yang mampu membangun partai politik, di mana di dalamnya juga dibangun ketergantungan yang sangat tinggi antara kader partai politik dengan elit-elit partai melalui uang. Wallahu alam.

1 thought on “Sedikit Catatan Atas Pendirian Partai Politik

  1. Ya seperti itulah dunia politik Indonesia bung…

    sulit untuk tdk berpikir konspiratif ketika DPR membahas bbg RUU. btw, hub antara parpol, parlemen dan pengusaha memang sudah lama mengakar di Indonesia dan dimanapun…

    wisata politik

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s