Bikepacking Jakarta-Bali (1)


Modal sepeda lipat roda 20 inchi, paru2 diisi tiga bungkus rokok sehari, body yang agak (ciee agak) kurus, gowes Jakarta-Bali? Mungkin agak janggal, tapi …bukan sulap bukan sihir, ternyata saya bisa.. Sendirian. Total waktu tempuh selama bersepeda 12 hari, dengan jarak +/- 1300 KM. Perjalanan dimulai tanggal 14 Agustus dari Palmerah sampai Kuta Bali tanggal 27 Agustus. Ya, jadinya 13 hari karena di Surabaya saya menambah 1 hari, mengunjungi saudara sekaligus service sepeda dan cuci cuci baju.

Sepeda yang saya gunakan sepeda lipat merek Dahon Vitesse D7, bukan sepeda touring memang namun sepeda commuter, sepeda yang sudah 6 tahun belakangan ini saya gunakan untuk ngantor. Kenapa ga pake sepeda touring, MTB atau apapun yang rodanya lebih besar diameternya? …ya adanya cuma ini mau gimana lagi?

20160814_060625

Persiapan

Rencana traveling keliling jawa (awalnya ga kepikiran untuk sampai bali) sudah saya rencanakan 3 bulan sebelumnya. Agak berlebihan sih kalau dibilang rencana, karena pada akhirnya saya berangkat dengan persiapan yang bisa dikatakan minim. Saya tidak pernah berlatih fisik, latihan paling jauh –dan itupun hanya sekali- itu hanya sekitar 20 KM. Dari kemanggisan ke Kota melalui Semanggi saat CFD, bolak balik. Selebihnya praktis tanpa latihan fisik kecuali ya bike to work seperti biasa. Latihan fisik yang lain sih ada, melatih paru-paru…dengan 3 bungkus rokok sehari seperti biasa hehehe.

Banyak rencana-rencana persiapan lainnya yang juga ternyata tidak saya kerjakan. Latihan service sepeda misalnya, bongkar pasang ban, nambal ban, pelajari sistem gear dll. Hingga akhirnya saya berangkat itu semua hanya tinggal rencana. Berdoa aja semoga ga ada masalah yang berarti di tengah jalan, atau kalaupun rusak, pas dekat tukang service sepeda.

Begitu juga dengan perlengkapan-perlengkapan sepeda. Pannier bag yang awalnya saya rencanakan bawa 2, tapi pada akhirnya hanya 1, yang ukuran 16 liter. Untuk kekurangan tas satu lagi akhirnya saya putuskan untuk membeli tas setang saja, eibag. Yah lumayanlah untuk naruh beberapa kaos, charger n powerbank dan handuk. Lampu sepeda? Tidak ada. Mau beli tapi kok ga ada yang sreg (yang sreg itu yang murah tapi bagus 😀 ). Bahkan untuk sekedar melakukan service sepeda saja, tidak saya lakukan. Entah kapan service terakhir saya lakukan. Kayaknya hampir setahun yang lalu. Karet rem pun sebenarnya sudah tinggal setengah. Tapi, tidak saya ganti hehehe. Nekat. Saya hanya beli cadangan sepasang, kalau-kalau ternyata di tengah jalan memang harus ganti.

Satu-satunya yang agak serius saya lakukan hanya mengganti kedua ban luar saja. Kedua ban saya ganti dengan Schwalbe Kojak 20 x 1.35. Lumayan mahal, sepasang abis hampir 800 ribu lah. Buat yang paham sepeda tentu akan bilang, bannya salah pilih mas kalau mau touring, ban touring kok yang tipis (1.35) Kojak pula (ban gundul tanpa alur seperti…Kojak). Saya pilih ban yang tipis ini karena ya sepeda ini juga saya pakai sehari-hari, bike to work.

Persiapan pakaian. Ini juga tanpa persiapan, baru malam sebelum berangkat saya siapkan. Hanya bawa 6 kaos, 2 celana sepeda, 1 jeans, 2 handuk dan beberapa CD (6 kayaknya). Kenapa hanya segitu? Saya juga ga tau sebenarnya musti bawa berapa, tapi karena muatnya di tas segitu, ya segitu lah akhirnya.

Rencananya dulu juga untuk mempersiapkan fisik, setidaknya malam sebelum hari H saya harus tidur cepat, jam 10 an lah. Tapi, dasar kalong, ga bisa juga dipaksa tidur jam segitu. Wal hasil, ya tidur seperti biasa, jam 1an.

Rute

Awalnya saya berniat melewati jalur selatan, ke arah timur, sekuat mungkin. Target pertama, Jakarta-Bandung via Jonggol. Berdasarkan google maps jalur ini adalah jalur terdekat, +/- 155 KM. Namun setelah mengalami jalur yang cukup banyak tanjakannya dari Jonggol-Bandung yang sangat melelahkan, setelah sampai Bandung saya putusan untuk pindah jalur ke Pantura yang jalurnya relatif datar tidak seperti jalur selatan yang banyak pegununangannya.

Secara garis besar rute yang saya lewati sebagai berikut:

Hari 1 : Jakarta-Cariu (Penginapan Cahaya Alam) +/- 77 KM

Hari 2 : Cariu – Bandung (Hotel Nyland Park) +/-76 km

Hari 3 : Bandung – Cirebon (Apita Express) +/-128 KM

Hari 4 : Cirebon – Tegal (Bugs Guest House) +/-75 KM

Hari 5 : Tegal – Semarang (Nozz Hotel) +/-155 KM

Hari 6 : Semarang – Pati (Hotel Rama) +/-80 KM

Hari 7 : Pati – Bojonegoro (Hotel Kudus) +/-123 KM

Hari 8 : Bojonegoro – Surabaya (Singgasana Hotel) +/-105 KM

Hari 9 : Surabaya

Hari 10 : Surabaya – Probolinggo (Bromo Sunrise Homestay) +/-92 KM

Hari 11 : Probolinggo – Situbondo (Hotel Ramayana) +/-104 KM

Hari 12 : Situbondo – Gilimanuk (Asih Homestay) +/-90 KM

Hari 13 : Gilimanuk – Kuta (Cempaka 2) +/-130 KM

rute

Rute

Jakarta-Cariu-Bandung

Minggu 14 Agustus sekitar jam 5 pagi saya bangun. Pannier bag dan tas setang saya pasang di sepeda. Rantai saya cek, ternyata pelumasnya sudah agak kering. Setelah ditambah chain wax, sarapan roti n pisang, pamit, jam 6.15 mulai jalan, dengan petunjuk google maps. Target pertama Bandung via Jonggol. Belum tahu nanti akan stop di mana malam. Yang jelas kalau sudah sore dan ada penginapan saya akan berhenti.

Pada awalnya perjalanan lumayan lancar. Pertama kali istirahat di Condet, Alfamart, beli minum karena ga bawa minum, selanjutnya dua kali istirahat lagi sampai akhirnya maksi di warteg di daerah Cileungsi. Jalanan masih relatif datar. Masuk Jonggol jalanan mulai menanjak, tidak terjal, agak landai namun panjang. Semakin lama semakin berat, karena panjangnya tanjakan. Jalanan relatif sepi, tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat. Beberapa kali istirahat karena lelah, terutama setelah tanjakan.

Memasuki Cariu tanjakan semakin sering. Badan sudah hampir ga kuat, keringat juga tambah ngucur. Bola-balik ngecek google maps, anjrit, Bandung masih +/- 100 KM lagi, sementara waktu sudah sekitar jam 2. Berarti perjalanan baru sekitar 50-60 KM. Ga mungkin sampai Bandung hari ini.

Sekitar jam 3an tiba-tiba hujan, terpaksa menepi. Lumayan deras. Untungnya hanya sebentar, sekitar sebatang rokok lah. Setelah hujan berhenti perjalanan dilanjutkan, namun tak berapa lama hujan lagi, menepi lagi di warung yang tutup, atau bekas warung. Kali ini agak lama, hampir setengah jam.

Setelah reda, masih gerimis-gerimis dikit saya putuskan untuk lanjut, waktu sudah sekitar jam 4, Bandung masih jauh. Jalanan semakin banyak tanjakannya, paha semakin ga kuat. Dalam hati, kalau ada losmen atau penghinapan gw akan berhenti, nginap di situ. Tapi sepanjang perjalanan kayaknya hanya sekali nemu penghinapan/hotel, di Jonggol, selanjutnya ga pernah lagi lihat ada penginapan.

Perasaan mulai agak was-was, bagaimana kalau ga ada penginapan? Nginap di Pom Bensin? Ya, itu salah satu alternatif, toh bawa sleeping bag. Tapi bagaimana kalau tidak ada SPBU di depan? Entah lah, pasrah aja, toh ga ada opsi lain.

Tak selang berapa lama tiba-tiba di depan ada penginapan, Cahaya Alam. Pikiran terbelah, antara lanjut karena masih jam 4.30 berharap di depan ada lagi penginapan, tapi badan juga lelah dan terlalu gambling kalau berharap di depan masih ada penginapan. Belum lagi belum tau apakah track di depan masih akan banyak tanjakan lagi atau tidak. Yang jelas kayaknya kaki sudah ga sanggup menghadapi tanjakan lagi. Akhirnya saya putuskan untuk minggir menuju penginapan tersebut.

Dari luar sekilas penginapan ini agak sepi, dan agak kurang terawat. Agak khawatir jangan-jangan penginapan ini sudah tutup. Tapi untungnya ternyata ga, masih beroperasi. Ibu pemilik penginapan menunjukan kamarnya, dibawa lah saya ke kamar yang…paling ujung, depan sawah-sawah. Bangke! …Saya tanya, apa ada kamar yang agak di depan-depan saja? “Ada” Kata si Ibu. Lha, kenapa ga dari tadi aja, ngapain ngasih kamar yang jauh-jauh? Dodol.

Kamar di buka oleh si Ibu. Agak gelap, kotor, temboknya seperti banyak coretan-coretan. Karena lelah ya udah lah. Saya tanya berapa sewanya, 100 ribu katanya. Tanpa banyak pikir langsung saya bayar. Setelah itu saya masuk kamar dan menyalakan lampu…ga nyala. Kata si ibu lagi mati lampu. Alamak! Setelah itu baru mikir, jangan-jangan sewanya bisa kurang dari 100 ribu nih? Dasar dodol, ga nawar-nawar dulu.

Selanjutnya sepeda saya masukan kamar, cek kamar mandi…gelap dan kayaknya kotor. Bentuk kamarnya agak “unik”, antara kamar dan kamar mandi dipisahkan tembok ¾ ke atas dan ¾ ke samping…tanpa pintu. Mulai menyesal, tapi ya sudah lah. Toh ga tau juga apakah di depan masih ada penginapan lagi atau ga.

Setelah mandi, saya ke warung nasi sebelah, makan malam yang agak sore. Langit masih terang. Daerahnya agak sepi, jarang ada rumah, mulai semi-semi hutan. Sembari makan mulai membayangkan, gimana kalau listrik mati sampai malam? Errr…au ah, mana ga bawa senter atau lampu sepeda pula.

Untungnya pas selesai makan ternyata listrik mulai nyala. Dengan riang gembira saya kembali ke kamar. Dari luar kamar terlihat gelap padahal perasaan tadi lampu sudah dinyalakan. Buka pintu, masih agak gelap, tapi lampu menyala…5 watt, anjrit!!! Kipas angin menyala tapi putarannya kayaknya lebih cepat bayangannya dibanding kipasnya sendiri. Ternyata tegangan listriknya lemah.

Sore itu saya putuskan untuk tidur agak cepat, agak males kalau harus merasakan malam dengan suasana kamar seperti ini. Suasana di luar juga sepi, sepertinya saya satu-satunya penghuni penginapan ini. Sampai sore sih masih terdengar orang ngobrol 2 kamar sebelah kamar saya, namun setelah jam 7 suasana mulai hening. Entah mereka udah tidur atau pergi. Atau udah berubah jadi werewolf.

Jam 8, masih belum bisa tidur. Mulai spooky. Suara keran air yang airnya ga bisa berhenti ngucur karena airnya dari sungai agak-agak menambah kehororan. Menderecit. Lama-lama dibayangkan suaranya kayak anak ayam. Jadi teringat cerita teman-teman kantor katanya kalau malam-malam ada suara anak ayam itu tandanya ada kuntilanak. Dan kalau suaranya terkesan jauh berarti mbak kuntinya dekat, dan kalau suaranya dekat berarti mbak kuntinya jauh. Nah, saya agak bingung, suara menderecit ini beneran suara air yang keluar dari keran atau anak ayam, dan suara ini sebenarnya bisa dibilang jauh atau dekat? Tambah ga bisa tidur. Untungnya sekitar jam 10an akhirnya bisa tidur.

Sekitar jam 5 pagi saya bangun. Suasana masih agak gelap. Planga plongo nunggu matahari sambil ngerokok. Mau beli kopi tapi warungnya belum buka. Sekitar jam 6.30 setelah gosok gigi tanpa mandi mulai beberes, siap-siap jalan. Setelah pamit sama pemilik penginapan, nongkrong di warung sebelah. Ngopi n makan roti dan pisang sisa kemarin. Sekitar jam 7.15 mulai jalan.

Ternyata track masih banyak tanjakan, dan benar, ternyata ga ada penginapan lagi. Untunglah, berarti keputusan kemarin untuk menginap di penginapan Cahaya Alam ternyata tepat.

 

Mulai agak lelah dan jenuh dengan tanjakan. Belum ada 1 jam lebih sering sepeda ditenteng dibandingin di gowes karena tanjakan. Hampir 2 jam pertama jarak yang ditempuh ga sampai 15 KM. Di tanjakan sebelum Puncak Pinus tiba-tiba ada truk lewat yang jalannya lambat karena tanjakan. Muncul ide untuk pegangan dengan pantatnya, ujung sebelah kiri. Lumayan bisa melewati tanjakan tanpa keluar tenaga kecuali nahan pegangan dengan ujung truknya. Sampai lah di Puncak Pinus (baru tau ada yang namanya Puncak Pinus). Banyak tempat makan di sini, sepertinya tempat peristirahatan supir-supir truk. Makan lah saya. Waktu menunjukan hampir jam 10.

Setelah Puncak Pinus, track lumayan banyak turunannya, walaupun tanjakan masih tetap ada. Lumayan lah. Sampai akhirnya daerah pegunungan itu terlewati. Jalan mulai rata dan lurus, kiri kanan sawah.

Di pinggir jalan Cibogo-Ciranjang berhenti sebentar minum es kelapa, (penjualnya menyebutnya rujak bukan es kelapa). Ngobrol-ngobrol dengan seorang bapak tua. Saya tanya ke arah Bandung nanti masih banyak tanjakan ga, dia bilang ga terlalu. Dia menyebut nama-nama tempat yang ada tanjakannya, tak ada satu pun yang saya ingat.

Memasuki Cianjur menuju Padalarang jalan masih rata, namun badan sudah sangat lelah, padahal baru jam 1 siang, dan Bandung masih sekitar 40 km lagi. Makan siang di suatu warung tak lama setelah memasuki Kabupaten Bandung. Sempat tertidur 10 menit di bale depan warung tersebut.

Selanjutnya, Cipatat dan Padalarang. Kembali jalanan menanjak. Dalam hati mulai menyesal milih jalur selatan, terlalu banyak tanjakan. Hampir tiap 30 menit atau bahkan kurang pasti berhenti untuk istirahat. Tiap tanjakan bahkan untuk tanjakan yang tidak terlalu tinggi pun sepeda mulai sering ditenteng. Tenaga terkuras di pagi hari, di Cariu.

Akhirnya, Cimahi. Bandung kota sudah dekat, tinggal 15 KM lagi. Saat itu sekitar pukul 5.30 sore. Ambil jalur ke Pasteur, satu-satunya daerah Bandung yang familiar buat saya, karena kalau naik mobil ya keluarnya di Pasteur. Sekitar jam 7 makan tongseng yang rasanya ga jelas tapi harganya agak mahal di seputaran Pasteur, sambil browsing-browsing hotel. Dapat hotel yang relatif dekat, hanya 1 km dari tempat makan, di jalan utama, dan di traveloka hitungannya yang paling murah. Hotel Nyland.

Sesampainya di hotel, sehabis mandi mulai cek google maps lagi. Cek bagaimana jalur selatan berikutnya. Anjrit, penuh pegunungan. Cek jalur utara…datar. Akhirnya memutuskan pindah jalur; setting google maps arah Cirebon.

…bersambung

Lanjutan: Bandung-Cirebon (Hari 3)

11 thoughts on “Bikepacking Jakarta-Bali (1)

  1. Nice Story Bro Arsil..Amazing Adventurenya…Melebihi iklan Gudang Garam…ditunggu kelanjutan nya cerita kisah nyatanya…

  2. Seharusnya kisah ini harus di dokumentasikan oleh iklan Rokok hahahaha adventure nya ga nahan

  3. Pingback: Bikepacking Jakarta-Bali (2) | KRUPUKULIT

  4. storynya ok banget mas… menginspirasi buat saya. salam kenal saiful surabaya. kalau ke surabaya kontak ya…

  5. Akhirnya setelah sekian lama, baru sekarang nih baca travel ente yg lejen Sil. Seru bgt! Dah ky mini series hahaha

Leave a comment