Apakah rekaman “Papa Minta Saham” jadinya tak dapat dijadikan bukti? Tentu ini pertanyaan yang relevan dalam kasus Setya Novanto paska putusan MK No. 20/PUU-XVI/2016 yang menyatakan bahwa Informasi Elektronik/Dokumen Elektronik bukanlah sebagai alat bukti yang sah kecuali diperoleh atas permintaan kepolisian, kejaksaan atau institusi penegak hukum. Pertanyaan tersebut penting pasalnya dalam perkara “Papa Minta Saham” ini bukti yang menjadi dasar perkara adalah rekaman pembicaraan antara SN bersama dengan M Rizal Chalid dan Dirut PT Freeport Syamsuddin Maaruf yang dilakukan secara diam-diam oleh SM, bukan oleh penegak hukum.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan memberikan beberapa ilustrasi. Terjadi sebuah perampokan dan pembunuhan di sebuah minimarket, dalam minimarket tersebut terdapat CCTV yang dipasang oleh pemiliknya. Dalam CCTV tersebut terlihat jelas segala kejadian yang terjadi, dan wajah para pelaku pun terlihat sangat jelas. Bahkan para pelaku sempat sengaja memperlihatkan wajahnya ke kamera CCTV tersebut, seakan memang sengaja ingin diketahui wajahnya. Tak cukup memamerkan wajahnya, para pelaku pun setelah melakukan perampokan dan membunuh semua orang yang ada di dalam minimarket secara sadis tersebut juga melakukan tindakan yang sangat tidak diduga-duga, mereka menari jaipong. Entah apa maksudnya. Tak ada saksi yang hidup dalam kejadian tersebut. Yang ada hanya rekaman CCTV tersebut.
Dalam perkara semacam itu, apakah kita mau bilang rekaman CCTV tersebut tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menjerat para pelaku semata karena CCTV tersebut tidak dipasang oleh penegak hukum dalam rangka penegakan hukum (penyidikan)? Jika ya, kasihan sekali produsen CCTV di Indonesia karena barang tersebut tidak akan laku lagi karena tak ada manfaatnya bagi para konsumen yang umumnya membeli CCTV justru untuk alasan keamanan. Selain itu para penjahat juga menjadi tak perlu takut lagi melakukan kejahatan di tempat-tempat yang ada CCTV nya karena tahu bahwa apapun yang terekam dalam CCTV tersebut nantinya tak akan punya nilai sama sekali dalam pembuktian di persidangan.
Teringat saya dengan film Enemy of The State yang diperankan oleh Will Smith. Film tersebut bercerita tentang seorang pejabat NSA (National Security Agency) yang membunuh seorang Kongresman. Peristiwa tersebut terekam secara tidak sengaja oleh sebuah kamera tersembunyi yang dipasang oleh seorang pengamat burung yang memasang kamera tersebut untuk mengamati burung. Mengetahui kejadian itu terekam dalam kamera tersebut, sang pejabat NSA kemudian berupaya untuk menghilangkan rekaman tersebut dengan segala cara. Karena, jika rekaman tersebut tidak dimusnahkan dapat menjadi bukti di pengadilan atas perbuatannya.
Cerita film Enemy of The State memang bukan lah film yang diangkat dari kisah nyata, namun film tersebut sedikit menggambarkan apakah di Amerika Serikat, salah satu negara yang ketat mengatur exclusionary rule[1], suatu rekaman video yang tidak dilakukan oleh penegak hukum dan tidak dilakukan dalam rangka penyidikan memang sama sekali tidak akan memiliki nilai pembuktian dalam persidangan. Dari film tersebut kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa walaupun sebuah rekaman atas suatu peristiwa tidak dilakukan oleh penegak hukum dan atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum, dapat menjadi bukti dalam persidangan. Karena jika tidak, cerita film tersebut tentu akan sangat berbeda. Mungkin setelah mengetahui peristiwa pembunuhan tersebut terekam oleh video sang pengamat burung, John Voight tidak akan mengejar si pengamat burung untuk memusnahkan video tersebut, tapi mungkin akan minta direkam lagi sambil nari jaipong. Jaipong versi California mungkin.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah paska putusan MK di atas rekaman semacam rekaman “Papa Minta Saham” tersebut sama sekali tidak memiliki nilai pembuktian?
Informasi Elektronik / Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti atau Barang Bukti?
Jika anda cermat memperhatikan, saya tidak pernah menggunakan istilah “alat bukti” dalam bagian-bagian sebelumnya kecuali terkait putusan MK. Mengapa demikian? Karena saya tidak pernah menganggap informasi elektronik, dokumen elektronik, rekaman audio, video dan segala macam obyek lainnya yang selama ini di istilahkan sebagai “alat bukti elektronik” sebagai alat bukti. Segala macam obyek tersebut bagi saya adalah “bukti”, bukan “alat bukti”. Untuk lebih mudahnya mari kita gunakan istilah yang lebih umum dikenal untuk “bukti” yang bukan “alat bukti” ini, yaitu “barang bukti”. Mengapa demikian?
Kembali saya akan menggunakan ilustrasi. Terjadi sebuah pembunuhan di sebuah minimarket (tapi kali ini sang pembunuh setelah membunuh tidak menari jaipong). Sang pembunuh menggunakan golok untuk membunuh korban. Golok tersebut kemudian dibuang oleh pelaku ke tempat sampah (setelah membaca tulisan “buang lah sampah pada tempatnya”). Polisi kemudian menemukan golok yang berlumur darah tersebut untuk diperiksa lebih lanjut. Pertanyaannya, apakah golok yang digunakan pelaku akan menjadi alat bukti di pengadilan? Tentu tidak. Golok akan dihadirkan ke persidangan oleh JPU sebagai “barang bukti”. Tak ada kata “golok” dalam Pasal 184 KUHAP yang mengatur Alat Bukti toh? Jika tak ada kata “golok” lalu golok ini tidak akan memiliki nilai pembuktian dong?
Sebagai “barang bukti”, obyek yang digunakan untuk melakukan pembunuhan, tentu sang golok memiliki arti penting dalam proses pembuktian. Namun, golok tentu hanyalah golok. Dia tak bisa menjelaskan apa-apa. Apakah benar golok yang digotong-gotong ke ruang sidang oleh JPU benar adalah golok yang digunakan untuk membunuh, dan apa kaitannya golok tersebut dengan terdakwa? Golok tersebut tak dapat berbicara sendiri bukan? Lalu?
Setelah golok yang berlumur darah tersebut ditemukan, tentu yang harus dilakukan oleh penyidik adalah memeriksa apakah benar bahwa golok ini lah yang memang menjadi alat pembunuhan. Caranya? Penyidik akan memeriksa, apakah darah yang ada dalam golok tersebut adalah darah korban, bukan darah yang lain, misalnya darah ayam. Untuk memastikan hal tersebut penyidik tentu perlu menyerahkan golok tersebut ke bagian forensik. Lab Forensik akan memeriksa apakah darah yang ada di golok sama dengan darah korban, luka bacokan yang ada pada tubuh korban berasal dari golok tersebut, dan memeriksa apakah ada sidik jari pada golok tersebut, jika ada sidik jari siapa.
Setelah para ahli dalam lab forensik bekerja, labfor akan memberikan penjelasan tertulis mengenai (setidaknya) ketiga permasalahan tadi. Katakanlah, menurut labfor ya, darah yang ada di golok adalah darah korban, ada sidik jari dan sidik jari tersebut adalah sidik jari X dll. Hasil Lab ini lah yang akan menjadi Alat Bukti di persidangan, yaitu alat bukti Surat, khususnya yang diatur dalam pasal 187 huruf c KUHAP[2].
Apa kaitan ilustrasi di atas dengan bukti elektronik?
Mari kita kembali ke ilustrasi CCTV minimarket yang pertama di atas, yang para pelakunya jaipongan. Rekaman CCTV adalah obyek. Obyek ini tidak begitu saja menjelaskan sesuatu. Rekaman ini juga tak dapat begitu saja dihadirkan ke persidangan lalu ditonton oleh hakim. Mengapa? Rekaman ini perlu diperiksa terlebih dahulu, apakah rekaman ini asli, tak ada rekayasa digital? Apakah wajah yang ada dalam rekaman tersebut dapat dipastikan memang wajah pelaku? Bagaimana memastikan hal ini? Kembali kita ke lab krim. Para ahli IT memeriksa ada tidaknya rekayasa digital dalam rekaman tersebut. Ahli yang bisa menganalisis wajah kemudian menganalisis apakah wajah yang ada dalam CCTV tersebut dapat dipastikan identik dengan wajah para tersangka. Analisa-analisa para ahli dalam bidangnya tersebut kemudian dibuat secara tertulis dan ditandatanginya, jadilah ia alat bukti…Surat.
Barang Bukti dan Alat Bukti
Apa perbedaan antara (barang) Bukti dan Alat Bukti, apakah memang ada perbedaan di antara keduanya? KUHAP memang hanya mengatur yang kedua secara lebih terperinci, yaitu yang di atur dalam Pasal 183-189. Di Pasal 184 nya disebutkan alat bukti yang sah ada 5 buah, yaitu 1) keterangan saksi, 2) keterangan ahli, 3) surat, 4) petunjuk, dan 5) keterangan terdakwa. Di pasal sebelumnya, 183, dinyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang2nya 2 alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah pelakunya.
Sementara itu tentang barang bukti sendiri KUHAP tidak mengatur secara terperinci walaupun istilah ini sendiri cukup sering di sebut[3], hanya saja dalam selama ini dipahami yang merupakan barang bukti adalah yang disebut dalam Pasal 39 yang mengatur mengenai penyitaan, yaitu benda atau tagihan yang diduga diperoleh atau hasil tindak pidana, benda yang digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana, benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan, benda yang dibuat secara khusus untuk melakukan tindak pidana, dan benda lain yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.
Walaupun dalam bagian Pembuktian dalam KUHAP perihal barang bukti tidak dirumuskan secara spesifik, namun posisi barang bukti tak kalah pentingnya dalam proses pembuktian. Barang bukti bukan lah “sekedar” obyek-obyek yang membantu timbulnya keyakinan hakim (petunjuk). Memang benar tidak semua tindak pidana memerlukan barang bukti, namun bukan berarti juga barang bukti tidak penting. Penting tidaknya barang bukti sangat dipengaruhi oleh sifat perkara itu sendiri. Sebagai contoh, dalam perkara penghinaan lisan, ada tidaknya barang bukti tidak akan menentukan ada tidaknya perbuatan penghinaan tersebut. Lagi pula apa yang akan dijadikan barang bukti dalam perkara seperti ini? Cipratan ludah pelaku? Sementara itu dalam perkara pemalsuan uang, keberadaan barang bukti tentu sangat mutlak harus ada, ya uang palsunya itu sendiri. Bagaimana bisa menentukan bahwa terjadi pemalsuan uang jika setidaknya contoh uang palsu itu sendiri tidak ada dan dihadirkan ke persidangan? Seribu saksi pun belum tentu tidak akan cukup meyakinkan hakim bahwa terjadi tindak pidana pemalsuan uang dan terdakwa lah pelakunya.
Pertanyaannya tentu mengapa dalam KUHAP khususnya dalam bagian Pembuktian yang diatur seakan hanya alat bukti? Sederhana. Barang bukti adalah obyek yang diam, benda. Golok berlumur darah seperti contoh sebelumnya tak dapat menyatakan apapun perihal peristiwa perampokan dan pembunuhan yang terjadi, golok ini perlu diteliti oleh ahli yang relevan. Keterangan ahli yang meneliti benda tersebut lah yang akan menjelaskan banyak hal kepada hakim perihal kaitannya dengan perkara, baik keterangan yang disampaikan secara langsung di pengadilan (alat bukti Keterangan Ahli) maupun secara tertulis (alat bukti Surat). Misalnya dari pemeriksaan/penelitian yang dilakukan atas golok tersebut ternyata ditemukan sidik jari terdakwa, atas dasar ini hakim juga dapat menanyakan kepada terdakwa misalnya mengapa sidik jari terdakwa bisa ada di golok yang digunakan sebagai alat untuk membunuh tersebut. Keterangan terdakwa ini kemudian juga akan menjadi alat bukti.
Intinya, barang bukti adalah obyek yang tidak bisa berbicara, menjelaskan dirinya sendiri. Dia harus dijelaskan oleh…pada akhirnya oleh manusia, baik saksi, terdakwa itu sendiri, maupun para ahli dibidangnya. Dalam bahasa belanda barang bukti ini diistilahkan dengan Stille Getuigen atau Silent Witnesses, saksi bisu. Sementara alat bukti adalah Sprekende Getuigen atau Talking Witness, saksi yang berbicara.
Hal yang sama berlaku juga bagi informasi/dokumen elektronik atau segala macam obyek yang selama ini di istilahkan sebagai “alat bukti elektronik”. Bahkan sebuah rekaman CCTV yang seakan terang benderang memperlihatkan peristiwa pembunuhan tidak dapat diterima begitu saja. Ia harus diperiksa validitasnya, apakah ada/tidaknya rekayasa dalam tayangan di dalamnya, termasuk juga apakah peristiwa yang ada dalam rekaman tersebut memang terjadi atau hanya acting belaka dll. Dan sekali lagi, keterangan ahli yang memeriksa “alat bukti elektronik” tersebut lah yang kemudian akan menjadi alat bukti yang sah dalam pengadilan, baik sebagai Keterangan Ahli maupun Surat.
Relevansi dengan Putusan MK dan Kasus SN
Apa relevansi tulisan di atas dengan Putusan MK dan terlebih lagi status rekaman “papa minta saham”?
Pada intinya MK menyatakan bahwa informasi/dokumen elektronik hanya dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan penegak hukum yang dilakukan dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Di sini lah letak kekeliruan MK –yang dipicu karena kekeliruan pembuat undang-undang. Informasi/Dokumen Elektronik pada dasarnya memang tidak dapat menjadi alat bukti yang sah, karena berdasarkan sifatnya dia adalah barang bukti. Bukan informasi/dokumen elektronik itu lah yang akan menjadi alat bukti yang sah dalam persidangan nantinya, namun laporan pemeriksaan yang dilakukan oleh ahli yang ditunjuk oleh penyidik atas informasi/dokumen elektronik tersebut yang akan menjadi alat bukti yang sah.
Dengan memahami bahwa informasi/dokumen elektronik bukan lah merupakan alat bukti namun barang bukti juga akan berimbas pada penilaian sah tidaknya tata cara peroleh rekaman “papa minta saham”. Rekaman ini tidak lah dibuat oleh penegak hukum, namun oleh individu, dengan demikian maka rekaman tersebut adalah hak milik dari sang individu. Dalam hal ini untuk menilai apakah rekaman tersebut dapat memiliki nilai pembuktian (sebagai barang bukti) bukanlah ditinjau dari pengaturan tentang tata cara penyadapan (yang memang belum ada aturannya juga), namun harus ditinjau dari pengaturan tentang penyitaan sebagaimana diatur dalam 38-46 KUHAP. Jika penyidik dalam memperoleh rekaman “papa minta saham” dari tangan SM sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut maka penyitaan tersebut sah, dan rekaman tersebut sah sebagai barang bukti. Selanjutnya tentu perlu diperiksa substansi dari barang bukti tersebut sesuai tata cara pemeriksaan bukti elektronik.
Apakah dengan pemaparan saya di atas artinya hak atas privasi dapat dilanggar begitu saja? Jelas tidak. Merekam suatu pembicaraan privat, menguping (eavesdropping) secara diam-diam, ngintip orang mandi, menyadap telekomunikasi, melakukan intersepsi internet atau sejenisnya secara diam-diam jelas adalah pelanggaran atas hak privasi. Namun kita perlu jeli dalam melihat siapa yang melakukan dugaan pelanggaran hak atas privasi tersebut, apakah penegak hukum atau pihak lain.
Terakhir, apakah dengan paparan saya ini berarti SN telah melakukan tindak pidana, apakah korupsi atau yang lainnya? Tidak. Paparan di atas hanya mengkaji aspek formal terkait barang bukti semata. Soal substansi perkaranya, itu urusan lain. Dan saya banyak urusan lain yang harus diurus juga.
Sekian.
Catatan: tulisan lain seputar isu ini ada juga di blog ini, judulnya Pasal 184 (1) KUHAP: Kendala Pembuktian Cybercrime?
Catatan Kaki:
[1] Tentang informasi ringkas Exclusionary Rule bisa dibaca di http://www.encyclopedia.com/topic/Exclusionary_Rule.aspx atau https://en.wikipedia.org/wiki/Exclusionary_rule.
[2] 187 huruf c KUHAP: surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
[3] Istilah “barang bukti” disebut sebanyak 17 kali dalam batang tubuh dan 7 kali dalam penjelasan.