Salah Kaprah Unsur Kerugian Keuangan dan Perekonomian Negara dalam UU Tindak Pidana Korupsi


Terjadi kesalahkaprahan yang luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hampir dalam semua proses penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya yang disangka/didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bukti yang menjadi fokus pencarian adalah terkait berapa kerugian keuangan negara yang terjadi.

Kesalahkaprahan semakin berlanjut dengan mulai mengemukanya diskursus tentang apa yang dimaksud dengan unsur “kerugian perekonomian negara” yang ada di pasal yang sama, apa saja yang dapat dianggap termasuk sebagai kerugian perekonomian negara, bagaimana cara perhitungannya hingga siapa lembaga yang berwenang menghitungnya.

Mengapa saya katakan kedua hal tersebut salah kaprah? Karena unsur pokok yang mengkonstruksikan suatu perbuatan adalah perbuatan yang bersifat dapat dipidana, jahat atau yang biasa disebut dengan bersifat melawan hukum (wedderechtelijkeheid) bukan dan seharusnya bukan terletak pada ada -atau lebih jauh lagi,- berapa kerugian yang diakibatkan oleh seseorang. Unsur pokok tersebut berada pada unsur “memperkaya/menguntungkan secara melawan hukum/dengan menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan dst”.

Suatu perbuatan bersifat koruptif bukan lah dilihat pada apakah negara dirugikan, melainkan apakah perbuatan tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan/kekayaan, serta dilakukan dengan cara-cara yang tidak sah, ilegal, curang atau dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya. Ini lah yang seharusnya dipandang sebagai perbuatan koruptif dan perlu diberantas. Memang, hal ini bukan berarti kerugian tidak lah penting. Kerugian hanyalah imbas dari perbuatan semacam itu, perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan secara tidak halal.

Keuntungan selalu merupakan tujuan dari orang yang melakukan perbuatan yang bersifat koruptif, bukan kerugian. Pejabat yang berniat untuk menyalahgunakan kewenangannya selalu bertujuan agar ia mendapatkan keuntungan dari situ, apakah agar dirinya, keluarganya atau temannya mendapatkan posisi kantornya, memainkan proses pengadaan barang dan jasa dst, tujuannya selalu adalah keuntungan. Dari penyalahgunaan kewenangan tersebut tentu akan ada yang dirugikan, salah satunya adalah negara. Namun kerugian bukan lah tujuan dari pelaku, kerugian hanyalah dampak. Pelaku tak akan perduli apakah negara, masyarakat atau orang lain dirugikan, yang penting dirinya untung. Ini lah yang namanya korupsi.

Fokus Pada Keuntungan (illegal gain) bukan Kerugian (losses)

Bahwa inti dari korupsi adalah perbuatan yang bertujuan memperkaya/menguntungan diri sendiri atau orang lain secara tidak halal selalu ditegaskan dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi dalam sejarahnya. Dalam paket Peraturan Penguasa Militer Tahun 1957 yang merupakan peraturan pertama yang secara khusus mengatur upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957, No. Prt/PM/08/1957 dan No. Prt/PM/011/1957 disebutkan secara jelas dalam penjelasan umum Prt/PM/08/1957 perihal hal ini -yang kemudian dikuatkan dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat AD No. Prt/Peperpu/013/1958, yaitu dengan menyatakan:

Untuk memberantas perbuatan memperkaja diri dengan tjara jang tidak halal, jang disebut korupsi, telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957…”.

Fokus pada “keuntungan” juga terlihat dari dibentuknya Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang fungsinya adalah untuk memeriksa harta benda dari orang-orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi.

Penegasan bahwa esensi korupsi (yang saat ini diatur di Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3) terletak pada unsur “memperkaya/menguntungan diri sendiri…” kembali ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 yang menggantikan Prt/Peperpu/013/1958. Hal ini terlihat dalam Penjelasan Pasal 1 sub b angka 4. Penjelasan tersebut berbunyi:

“Baik Pasal 1a maupun Pasal 1b mencantumkan sebagai unsur “memperkaya diri sendiri”. Unsur ini sangat penting. Terhadap orang-orang semacam ini tindakan-tindakan ini ditujukan. Karena adanya orang-orang semacam inilah Peraturan Pemerintah ini dikeluarkan. Adalah bukan maksud Pemerintah untuk memperberat ancaman hukuman atau kejahatan atau pelangaran yang dilakukan dalam keadaan bahaya oleh yang bersangkutan, atau dalam keadaan, di mana memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara tidak merupakan suatu penyakit masyarakat seperti sekarang ini.”

UU No. 3 Tahun 1971 yang menggantikan Perpu No. 24 Tahun 1960 juga kembali menegaskan hal yang sama. Hal ini terlihat dalam Penjelasan Pasal 1 Ayat 1 sub a yang berbunyi:

Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu “memperkaya diri sendiri” atau “orang lain” atau “suatu badan.”

Fokus pada unsur “memperkaya” atau “menguntungkan” tersebut dalam sejarah pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi juga terlihat dari berbagai instrumen hukum yang dibentuk dalam peraturan-peraturan tersebut. Pada era Peraturan Penguasa Militer maupun Peraturan Penguasa Perang Pusat AD untuk dapat menelusuri hasil korupsi yang diperoleh orang yang diduga melakukan korupsi salah satunya dengan membentuk Badan Koordinasi Penilikan Harta Benda yang berwenang untuk memeriksa asal usul kekayaan tersangka, yang mana jika kekayaan tersebut dipandang diperoleh secara mencurigakan dapat dilakukan penyitaan.

Instrumen hukum lainnya yang dibentuk yang tidak ada pada hukum acara pidana pada umumnya (saat itu) yaitu adanya kewajiban tersangka/terdakwa untuk menjelaskan asal usul seluruh kekayaannya termasuk kekayaan suami/istri dan anak-anaknya yang mana jika ia tidak memberikan keterangan yang memuaskan atas kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya yang sah akan dijadikan bukti bahwa terdakwa melakukan korupsi.

Tak hanya itu, sejak PPM No. 06 Tahun 1957 diatur adanya satu jenis pidana tambahan yang baru, yaitu pembayaran uang pengganti. Uang pengganti ini bukan lah uang pengganti kerugian keuangan atau perekonomian negara, melainkan pengganti dari harta benda yang diperoleh dari korupsi yang sudah tidak ada lagi pada pelaku, baik karena dikonsumsi maupun karena disembunyikan.

Segala instrumen hukum dalam sejarah pengaturan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut menunjukan secara jelas bahwa yang seharusnya dicari, ditemukan, dihitung dan dibuktikan adalah terkait ada tidaknya keuntungan/kekayaan yang diperoleh pelaku secara ilegal, bukan berapa besar kerugian negara atau perekonomian negara yang diakibatkan.

Mengapa mencari, menghitung, dan merampas hasil korupsi dari pelaku menjadi fokus dari berbagai peraturan-peraturan tersebut, dan bukan pada kerugian keuangan negara? Karena untuk membuat orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat menikmati hasil kejahatannya. Konsep yang sebenarnya cukup mendasar dalam hukum pidana, penindakan terhadap pelaku kejahatan tidak akan efektif jika yang ditindak masih dapat menikmati hasil perbuatannya, untuk itu maka menjadi sangat penting untuk membuat pelaku tidak dapat menikmati hasil kejahatannya.

Sesat Pikir Pembuktian Kerugian Keuangan dan Perekonomian Negara

Jika undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam sejarahnya berfokus pada unsur memperkaya/menguntungkan diri sendiri (atau orang lain/badan) secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kewenangan, lalu mengapa kini seakan proses penanganan perkara korupsi lebih menitikberatkan pada kerugian keuangan atau perekonomian negara? Lihat saja bagaimana surat-surat dakwaan perkara tindak pidana korupsi, khususnya yang didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, selalu yang ditonjolkan adalah berapa kerugian keuangan negara negara yang diakibatkan, bukan berapa keuntungan yang diperoleh tersangka/terdakwa.

Lebih jauh lagi, kini ada upaya untuk bagaimana menghitung besaran kerugian perekonomian negara, dimana tak jarang segala macam kerugian dimasukan ke dalamnya, termasuk kerugian lingkungan -yang sebenarnya telah ada undang-undang tersendiri untuk itu. Pertanyaannya, untuk apa?

Jika diperhatikan secara seksama UU Tindak Pidana Korupsi, satu-satunya manfaat untuk menghitung kerugian keuangan negara hanyalah jika Jaksa Pengacara Negara hendak melakukan gugatan perdata, yang diatur baik di Pasal 32 maupun Pasal 33. Pasal 32 memuat aturan dimana jika terdakwa diputus bebas atau lepas, namun nyata-nyata ada kerugian keuangan negara, hasil penyidikan dapat diserahkan ke Jaksa Pengacara Negara untuk diajukan gugatan perdata. Begitu juga jika tersangka meninggal dunia.

Ketentuan tersebut sendiri secara implisit juga telah menunjukan, bahwa unsur pokok tindak pidana korupsi khususnya pada pasal 2 dan 3 bukan lah terletak pada ada tidaknya kerugian keuangan negara. Mengapa demikian? Karena dari Pasal 32 tersebut terlihat adanya kemungkinan adanya kerugian keuangan negara namun terdakwa diputus bebas atau lepas. Hal ini baru dapat dipahami jika kedua pasal tersebut dipahami secara benar seperti bagaimana penegasan yang ada dalam penjelasan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi sebelum UU No. 31 Tahun 1999 itu sendiri, yaitu tindak pidana korupsi yang diatur dalam pasal 2 dan pasal 3 bukanlah soal perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, namun perbuatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan/kekayaan secara tidak sah.

Terfokusnya penyidikan tindak pidana korupsi pada ada tidaknya kerugian keuangan atau perekonomian negara ini (salah satunya) disebabkan kesalahpahaman tentang pidana tambahan uang pengganti. Uang pengganti disalahpahami sebagai “uang pengganti kerugian keuangan negara”. Dalam (kesalah) pahaman ini maka seakan terdakwa dapat dihukum untuk mengganti kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya. Dan untuk itu maka menjadi logis ketika berapa kerugian keuangan negara harus dihitung dan dibuktikan dengan cermat.

Tapi, apa iya uang pengganti yang dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU No. 31 Tahun 1999 maksudnya adalah “pengganti kerugian keuangan atau perekonomian negara”? Jika iya, lalu mengapa rumusan pasal tersebut dinyatakan “pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi? Jika besaran uang pengganti dibatasi pada sebanyak-banyaknya harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi -atau yang bisa juga disebut dengan hasil kejahatannya- lalu mengapa yang selalu dicari oleh penegak hukum adalah berapa kerugian yang diakibatkan oleh tersangka/terdakwa, bukan berapa yang diperolehnya?

Apakah artinya pembuat UU No. 31 Tahun 1999 salah menuliskan rumusan pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, bahwa maksud pembuat UU adalah sebanyak-banyaknya kerugian keuangan negara yang diakibatkan? Tidak. Ketentuan ini bukanlah ketentuan yang baru dirumuskan di tahun 1999. Pidana tambahan uang pengganti ini telah ada sejak tahun 1957 dengan rumusan yang serupa, yaitu dalam Pasl 25 PPM No. 06 Tahun 1957 yang lengkapnya berbunyi “…segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu dirampas atau diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah sama dengan harga harta benda yang diperoleh dari korupsi itu.” Ketentuan serupa diatur kembali di Pasal 40 Ayat (3) Peperpu No. 13 Tahun 1958, Pasal 16 Ayat (3) Perpu No. 24 Tahun 1960 maupun Pasal 34 huruf c UU No. 3 Tahun 1971. Tak ada satu pun pasal-pasal tersebut yang menyebutkan atau mengindikasikan bahwa uang pengganti adalah pengganti kerugian keuangan negara. Konsep uang pengganti yang bukan mengenai penganti kerugian keuangan negara ini tidak lah berubah di UU No. 31 Tahun 1999. Satu-satunya yang berubah yaitu dengan ditambahkannya hukuman pengganti jika uang pengganti tersebut tidak dibayar kan terpidana, yaitu dengan menyita dan merampas harta bendanya yang mana jika ternyata masih kurang maka diganti dengan penjara pengganti.

Dampak Kesalahpahaman

Dampak kesalahpahaman atas apa yang seharusnya dicari dan dibuktikan dalam perkara korupsi Pasal 2 dan 3 sangat lah luas. Dampak pertama yaitu pada bergesernya makna dari kedua pasal tersebut. Ketentuan yang seharusnya dipergunakan untuk menjerat orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan/kekayaan yang tidak sah -atau dengan kata lain melakukan perbuatan curang atau fraud, menjadi memidana segala perbuatan yang berakibat pada timbulnya kerugian keuangan negara (atau perekonomian negara), terlepas dari apakah kerugian tersebut disebabkan oleh suatu perbuatan curang atau tidak. Seakan cukup hanya dengan membuktikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa, terlepas dari apakah kesalahan tersebut sengaja dilakukan untuk mendapatkan keuntungan atau tidak.

Hal ini telah membuat perbuatan korupsi seakan sama dengan apa yang dikenal dengan “perbuatan melawan hukum” dalam ranah hukum perdata, atau yang dikenal juga dengan istilah tort. Dengan kata lain, kriminalisasi permasalahan keperdataan. Tentu tidak semua perkara korupsi yang diadili benar-benar hanyalah kriminalisasi perdata semata, cukup banyak juga terdakwa yang diadili dengan pasal 2 atau 3 benar-benar melakukan perbuatan curang untuk mendapatkan keuntungan yang tidak halal tersebut. Namun, pergeseran makna atas tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 ini telah membuat ruang lingkup perbuatan yang dapat dijerat menjadi jauh lebih luas hingga memasuki permasalah perdata.

Pergeseran makna ini tentu tidak dapat dipandang sepele, karena pergeseran ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang luar biasa khususnya -namun tidak terbatas- pada BUMN-BUMN. Sebagai perusahan, rugi merupakan bagian dari resiko yang harus dihadapi. Jika setiap kerugian walaupun tidak ada kesalahan yang disengaja untuk mendapatkan keuntungan pribadi menjadi dapat dipidana, terlebih dengan label korupsi tentu hal ini akan sangat bermasalah. Dan ini melahirkan permasalahan berikutnya yaitu (potensi) korupsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi itu sendiri.

Dengan semakin luasnya bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi hal ini membuat lahirnya ketidakpastian hukum dan membuat kekuasaan penegak hukum menjadi luar biasa besarnya. Kedudukan pejabat-pejabat BUMN, rekanan proyek-proyek pemerintah menjadi sangat rentan saat berhadapan dengan penegak hukum, karena seakan segala macam kerugian, sekecil apapun, tanpa perbuatan yang bersifat curang pun, dapat berujung pada status tersangka, kursi pesakitan pengadilan tipikor, dan penjara. Terlebih dengan opini-opini publik yang menghendaki setiap tersangka kasus korupsi harus diputus bersalah, dihukum seberat-beratnya dan dimiskinkan hingga anak cucu. Kerentanan kedudukan para “calon” tersangka korupsi ini merupakan sasaran empuk bagi para penegak hukum yang korup. Rentan akan praktik korupsi yang sebenarnya, yaitu suap dan pemerasan.

Pergeseran makna ini juga berdampak pada pemahaman masyarakat akan apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi. Perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan korupsi seakan hanyalah perbuatan yang merugikan keuangan negara, sementara itu perbuatan yang sesungguhnya merupakan bentuk perbuatan yang paling dasar dari korupsi, yaitu suap menyuap, gratifikasi ilegal, pemerasan oleh penegak hukum dipandang bukan lah termasuk dalam tindak pidana korupsi, karena perbuatan-perbuatan tersebut tidak (kasat mata) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pandangan ini tidak hanya berada pada banyak orang awam hukum, bahkan pernah saya berdebat di twitter dengan salah seorang anggota DPR dan asistennya (yang katanya Sarjana Hukum) karena keduanya memandang suap yang diterima oleh presiden partainya bukan lah korupsi, namun hanyalah suap menyuap karena tidak merugikan keuangan negara.

Kesalahpahaman yang ada dimasyarakat atas apa sebenarnya perbuatan-perbuatan yang tergolong perbuatan korupsi berakibat pada lahirnya sikap toleran atas praktik suap menyuap. Suap menyuap, memberikan uang pelicin, memberikan hadiah pada pejabat atau atasan dengan harapan pejabat atau atasan tersebut suatu saat akan membalas budinya, seakan merupakan praktik yang wajar, bukan korupsi, karena tidak merugikan keuangan negara.

Dampak berikutnya yaitu lemahnya penelusuran (aset tracing) hasil korupsi dalam proses penyidikan. Karena yang dicari adalah kerugian, bukan keuntungan yang diperoleh pelaku, maka tak heran jika teknik penelusuran aset hasil kejahatan, teknik-teknik investigasi untuk membongkar suap menyuap, gratifikasi dst menjadi lemah. Terlebih jauh lebih mudah bagi penegak hukum untuk mencari kerugian keuangan negara, tak perlu kerja keras, cukup meminta auditor BPK atau BPKP untuk melakukannya.

Tidak berkembang atau bahkan tidak dilakukannya penelusuran harta serta asal usulnya berdampak pada tidak termanfaatkannya satu instrumen penting yang ada dalam UU Tipikor, yaitu pembuktian terbalik atas harta benda milik terdakwa yang diatur dalam Pasal 37A dan 38B UU tersebut. Bagaimana mungkin pembuktian terbalik dapat diterapkan secara efektif jika penuntut umum tidak mengetahui/memiliki informasi atas harta benda terdakwa itu sendiri? Bagaimana ia dapat membantah argumen terdakwa jika terdakwa mengklaim bahwa hartanya yang tidak wajar tersebut diperoleh secara wajar, jika penuntut umum tidak memiliki informasi yang cukup untuk itu? Dan bagaimana mungkin penuntut umum memiliki informasi yang cukup tersebut jika pada saat penyidikan penelusuran atas harta tersangka -atau yang dulu diistilahkan dengan penilikan harta- tidak dilakukan?

Dan yang berikutnya, bagaimana hakim dapat benar-benar menjatuhkan uang pengganti sesuai Pasal 18 Ayat (1) huruf b, yaitu sebesar-besarnya harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, jika sedari awal berapa besar harta benda yang diperoleh terdakwa tidak diketahui karena tidak ditelusuri?

Penutup

Demikian sejumlah dampak yang ditimbulkan dari kesalahan fokus pemberantasan tindak pidana korupsi yang dimulai dari kesalahpahaman memaknai arti pentingnya unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara.

Pada tulisan berikutnya saya akan mencoba mengurai permasalahan yang lebih mendasar dari Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor ini, yaitu ketidakjelasan unsur perbuatan yang ada pada kedua ketentuan tersebut.

Leave a comment