Catatan Atas Teknik Penyusunan Ketentuan Pidana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


*Telah dipublikasikan di Jurnal Legislasi Indonesia Januari 2012 (Kementrian Hukum dan HAM)

Pengantar

Pada tanggal 12 Agustus 2011 yang lalu DPR dan Pemerintah telah mensahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dengan judul yang sama. Cukup banyak perubahan yang terjadi terkait pembentukan peraturan perundang-undangan jika dibandingkan antara kedua undang-undang tersebut. Jika dilihat secara sekilas saja jumlah pasal yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 ini hampir 2 (dua) kali lipat jumlahnya, dari 58 pasal yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 menjadi 104. Perubahan terjadi baik dalam susunan (hirarki) peraturan perundang-undangan hingga proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah seluruh perubahan yang terjadi di Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tersebut namun secara khusus dimaksudkan untuk melihat satu aspek dari Undang-Undang ini saja, yaitu khusus yang terkait dengan pengaturan ketentuan pidana. Aspek ini dipilih oleh karena penulis melihat semakin banyaknya Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana dengan banyak persoalan di dalamnya, mulai dari ketidakjelasan rumusan atau unsur, duplikasi pengaturan dengan KUHP atau ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya, diabaikannya (atau terabaikannya) ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam Buku I KUHP, ketidakjelasan parameter pengaturan sanksi pidana dan lain sebagainya.

Teknik maupun panduan secara umum mengenai perumusan ketentuan pidana saat ini memang belum banyak menjadi perhatian. Literatur-literatur mengenai hal ini juga sejauh ini belum ditemukan oleh penulis. Untuk itu maka penting kiranya untuk secara spesifik mengkaji aspek pengaturan mengenai perumusan ketentuan pidana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini.

Kondisi Undang-Undang Yang Memuat Ketentuan Pidana Saat Ini

Dilihat dari jumlah Undang-Undang yang mengatur ketentuan pidana penulis mencatat terdapat 120 buah Undang-Undang[1] yang pernah disahkan yang memuat ketentuan pidana dari 451 buah Undang-Undang yang dihasilkan sejak 1999. Dari 120 buah undang-undang tersebut 12 diantaranya sudah tidak berlaku lagi, baik karena telah dicabut, direvisi ketentuan pidananya maupun ketentuan pidana tersebut atau bahkan undang-undang tersebut secara keseluruhan telah dinyatakan tidak berlaku lagi melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

Jumlah ini sendiri merupakan jumlah UU yang memuat ketentuan pidana terbanyak jika dibandingkan masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998) yang hanya berjumlah 85 Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana dari total undang-undang yang pernah disahkan pada periode tersebut sebanyak 381 buah Undang-Undang.

Banyaknya jumlah undang-undang yang memuat ketentuan pidana tentu pada dasarnya tidaklah bermasalah, terlebih data di atas baru melihat berdasarkan undang-undang yang memuat ketentuan pidana saja belum memperhitungkan beberapa variabel lainnya, misalnya dari 120 buah undang-undang yang memuat ketentuan pidana antara tahun 1999 s/d tahun 2011 tersebut berapa banyak UU yang merupakan UU yang mengganti atau merevisi UU baik UU yang terbit antara tahun 1999 s/d tahun 2011 itu sendiri maupun periode-periode sebelumnya. Atau dengan kata lain dari 120 buah UU yang memuat ketentuan pidana tersebut berapa banyak UU yang benar-benar baru. Mengingat keterbatasan waktu saat ini penulis belum dapat menghitung dengan lebih tepat lagi jumlah undang-undang yang benar-benar baru yang memuat ketentuan pidana.

Jika kita melihat satu per satu undang-undang yang memuat ketentuan pidana tersebut, yang menarik khususnya sejak 1999 sepertinya telah terjadi pergeseran konsep penyusunan ketentuan pidana dari kodifikasi menjadi “dekodifikasi”. Yang penulis maksud dengan “dekodifikasi’ di sini yaitu jika kodifikasi mengarah pada disusunnya suatu jenis peraturan sejenis dalam satu buku secara sistematis, dekodifikasi merupakan kebalikannya, justru mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam undang-undang yang telah terkodifikasi menjadi berdiri sendiri.

Sejak 1999 penulis mencatat hanya terdapat 1 buah undang-undang yang masih mengacu pada sistem kodifikasi, yaitu UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dimana UU tersebut menambahkan beberapa ketentuan yang ada dalam KUHP, yaitu pasal 107a s/d 107f. Selain UU No. 27 Tahun 1999 tersebut sebenarnya terdapat 1 UU lagi yang masih mengikuti pola kodifikasi, yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menambahkan ancaman hukuman dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP, namun UU ini kemudian diubah dengan UU 20 Tahun 2001 yang kemudian mengeluarkan sepenuhnya beberapa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP seperti pasal 209, 210, 387, 388 dan beberapa pasal lainnya keluar KUHP.

Selain UU No. 20 Tahun 2001 yang mengeluarkan ketentuan yang ada dalam KUHP keluar KUHP memang hanya terdapat 1 (satu) UU yang secara eksplisit mencabut ketentuan yang ada dalam KUHP, yaitu UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang dimana di dalam ketentuan peralihannya UU tersebut mencabut dua pasal dalam KUHP yaitu pasal 297 dan 324 karena telah diatur pula dalam UU tersebut. Namun dalam banyak UU lainnya sebenarnya banyak yang juga mencabut ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP secara implisit, maksudnya undang-undang tidak secara tegas mencabut suatu ketentuan yang terdapat dalam KUHP, namun beberapa ketentuan yang sama sebenarnya telah diatur juga dalam undang-undang tersebut, sehingga berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori maka ketentuan yang serupa dalam KUHP tidak lagi mengikat. Beberapa contoh undang-undang yang secara implisit atau tidak langsung ‘mencabut’ ketentuan yang ada dalam KUHP antara lain:

  1. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 77 butir b membuat pasal 305 KUHP tidak efektif, Pasal 81 UU ini membuat pasal 287 KUHP tidak efektif, sementara pasal 82 UU ini membuat pasal 282 ayat 2 dan 3 tidak efektif.
  2. UU No. 24 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. yang secara tidak langsung mencabut pasal 356 butir 1 KUHP
  3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 194 UU ini membuat tidak efektifnya pasal 348 KUHP.
  4. UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pasal 34, 36 dan 37 UU ini membuat tidak efektifnya pasal 244, 245 dan 250 KUHP.

Di samping dekodifikasi khususnya terhadap KUHP sebagaimana di atas banyak juga undang-undang yang memuat ketentuan pidana yang entah secara sengaja atau tidak sengaja dibuat dengan mengabaikan begitu model penyusunan undang-undang yang terkodifikasi. Pengabaian yang dimaksud yaitu, sebenarnya ketentuan pidana yang hendak diatur dalam RUU yang sedang dibahas telah terdapat dalam KUHP hanya saja sifat kejahatan yang hendak diatur dipandang lebih berat atau lebih ringan dari ketentuan yang ada dalam KUHP, namun alih-alih ketentuan pidana tersebut dirumuskan dengan menambahkan saja unsur yang ada dari delik yang telah diatur dalam KUHP tersebut dengan ancaman yang lebih tinggi atau rendah untuk kemudian pasal tersebut disisipkan dalam KUHP sebagai tambahan, pembuat undang-undang lebih memilih untuk mengaturnya tersendiri. Sebagai contoh misalnya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana sebagian besar ketentuan pidana yang diatur di dalamnya sebenarnya hanyalah pemberatan dari beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP, sebagian delik dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang sebenarnya merupakan pemberatan dari delik kesusilaan KUHUP, pasal 57 ayat 1 UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik yang sebenarnya hanyalah pemberatan dari pasal 263 KUHP, serta masih banyak lagi.

Ditinggalkannya sistem kodifikasi menimbulkan banyak permasalahan tersendiri. Pertama, menyulitkan baik masyarakat umum maupun aparat penegak hukum dan hakim untuk mengakses informasi mengenai perbuatan-perbuatan apa yang dilarang atau dapat dipidana, mengingat begitu tersebarnya ketentuan-ketentuan tersebut diberbagai undang-undang. Bayangkan, sejak tahun 1999 saja terdapat 120 buah undang-undang yang memuat ketentuan pidana dan hanya 1 undang-undang yang mengintegrasikan ketentuan pidananya ke dalam KUHP, yaitu UU No. 27 Tahun 1999.

Kedua, membuka kemungkinan terjadinya ketidakseragaman penggunaan suatu istilah hukum antara tindak pidana di luar KUHP dengan istilah-istilah hukum yang ada dalam KUHP. Ketidakseragaman penggunaan istilah ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai contoh, apakah yang dimaksud dengan “kekerasan fisik” dalam pasal 6 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekersan Dalam Rumah Tangga berbeda dengan yang dimaksud dengan “penganiayaan” yang dikenal dalam KUHP? Contoh lainnya, apakah istilah “penghinaan” dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sama dengan yang dimaksud dengan KUHP? Jika sama, penghinaan dalam bentuk apa mengingat ternyata dalam KUHP terdapat beberapa bentuk penghinaan yang ancaman-ancaman hukumannya masing-masing berbeda.

Ketiga, ketidaksistematisan pengaturan beratnya ancaman hukuman. Besaran ancaman hukuman akan menentukan gradasi tindak pidana atau tingkat keseriusan tindak pidana. Sangatlah janggal jika suatu tindak pidana yang sebenarnya tidak terlalu dipandang serius baik diberikan ancaman hukuman yang lebih tinggi dari suatu tindak pidana yang dipandang serius bahkan misalnya “extra ordinary”. Hal ini terjadi misalnya jika dibandingkan antara ancaman hukuman bagi tindak pidana penghinaan dalam UU ITE dengan korupsi dalam bentuk suap, dimana ancaman hukuman penjara untuk penghinaan di UU ITE paling tinggi 6 tahun bahkan 12 tahun jika penghinaan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain (pasal 51 ayat (2) jo. Pasal 36 jo. Pasal 27 ayat (3) UU ITE) sementara itu suap sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 hanya setinggi-tingginya 5 tahun.

Ketidaksistematisan ancaman hukuman dalam berbagai undang-undang yang memuat ketentuan pidana dapat dihindari jika model kodifikasi masih dianut secara ketat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Oleh karena jika pembuat undang-undang hendak mengatur ketentuan pidana maka dalam menentukan besarnya ancaman hukuman harus terlebih dahulu mengacu pada standar yang telah ada dalam undang-undang yang telah terkodifikasi, dalam hal ini KUHP. Jika perbuatan yang hendak diatur tersebut pada dasarnya hanyalah pemberatan dari tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP maka acuan pokok yang bisa diambil untuk menentukan besaran ancaman hukuman tersebut adalah besaran ancaman hukuman dari delik umum dalam KUHP tersebut.

Kodifikasi, Model yang Terlupalan dalam UU No. 12 Tahun 2011

Sebagaimana telah diuraikan sedikit diatas, dipertahankannya model kodifikasi khususnya dalam penyusunan ketentuan pidana sangatlah penting. Namun jika diperhatikan UU No. 12 Tahun 2011 ini tampaknya kodifikasi sudah mulai terlupakan. Hal tersebut tampak jelas jika kita melihat petunjuk teknik perumusan ketentuan pidana yang terdapat dalam Lampiran II UU ini khususnya pada bagian C.3. yang dimulai dari nomor 112 sampai dengan nomor 126.

Terlupakannya penyusunan ketentuan pidana dengan tetap berpedoman pada sistem kodifikasi sebenarnya telah terjadi sejak undang-undang sebelumnya, UU No. 10 Tahun 2004. Hal ini terlihat jelas jika diperbandingkan antara bagian Lampiran II bagian C.3 UU 12 Tahun 2011 ini dengan bagian Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 bagian C.3 dimana dapat dikatakan hampir tidak ada perbedaan diantara keduanya. Bahkan dapat dikatakan pada dasarnya Lampiran huruf C.3. dalam UU No. 12 Tahun 2011 ini pada dasarnya hanya copy-paste dari undang-undang sebelumnya tersebut dengan merubah nomor urutnya belaka. Hal ini terlihat misalnya pada angka 118 huruf a yang secara kurang cermat merujuk pada nomor yang sebenarnya sudah tidak sesuai lagi, seperti terlihat dibawah ini[2]:

118. Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:

a. pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundangundangan lain. Lihat juga Nomor 98;

Bandingkan dengan Lampiran UU No. 10 Tahun 2004:

91.  Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal (-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:

a.  pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan Perundang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98;

Sekilas memang tidak ada yang salah dari kedua kutipan di atas, namun jika merujuk pada nomor 98 yang dimaksud kedua kutipan tersebut maka akan terlihat kekurangcermatan UU No. 12 Tahun 2011 ini, karena nomor 98 yang dimaksud oleh Lampiran II UU 12 Tahun 2011 ini tidak ada kaitannya dengan apa yang dimaksud dalam angka 118 huruf a tersebut, karena nomor 98 tersebut memuat teknik penyusunan ketentuan umum.

98. Ketentuan umum berisi:

a. batasan pengertian atau definisi;

b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau

c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab.

Sebenarnya yang dimaksud oleh angka 118 huruf a tersebut bukanlah nomor 98 namun nomor 125, yang jika dibandingkan dengan Lampiran UU No. 10 Tahun 2004 materi nomor 125 tersebut memang terdapat dalam nomor 98.

125. Ketentuan pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan, tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Kesalahan tersebut diduga terjadi karena kekurangcermatan semata, tentunya kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang masih dapat dimaklumi. Kesalahan tersebut hanya menunjukkan bahwa memang pada dasarnya tidak ada perubahan yang signifikan dalam lampiran kedua undang-undang tersebut khususnya terkait teknik penyusunan ketentuan pidana.

Model kodifikasi memang tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 ini, masih terdapat beberapa yang sedikit menunjukkan sebaliknya, misalnya pada nomor 113 Lampiran II yang masih memberikan petunjuk agar asas-asas umum yang ada dalam Buku I KUHP tetap diperhatikan, serta nomor 121 mengenai keharusan memperjelas jenis tindak pidana yang akan diatur apakah akan dikualifikasikan sebagai Kejahatan atau Pelanggaran sebagaimana pembedaan yang ada dalam KUHP[3]. Namun hal tersebut menurut penulis masihlah sangat terlalu minim.

Untuk menjaga model penyusunan ketentuan pidana yang terkodifikasi seharusnya UU 12 Tahun 2011 ini memberikan petunjuk agar tidak hanya Buku I KUHP yang harus diperhatikan, namun juga ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam Buku II maupun Buku III KUHP. Maksudnya, sebelum perancang hendak mengkriminalisasikan suatu perbuatan harus terlebih dahulu melakukan pengecekan apakah perbuatan-perbuatan yang hendak dikriminalkan tersebut telah tercakup dalam ketentuan-ketentuan dalam Buku II dan Buku III KUHP. Dengan demikian maka dapat dihindari duplikasi pengaturan tindak pidana, apalagi dengan rumusan unsur-unsur yang berbeda padahal pada dasarnya sama. Dan seandainya dipandang ancaman hukuman yang ada dalam KUHP untuk perbuatan yang mau diatur tersebut kurang berat atau terlalu berat maka cukup hanya menyisipkan ayat atau pasal tambahan dalam KUHP dengan ancaman hukuman yang lebih berat atau lebih ringan. Selain itu jika seandainya perbuatan yang hendak dikriminalisasikan ternyata tidak ada dalam KUHP maka seharusnya UU ini dapat memberikan petunjuk agar sebisa mungkin ketentuan pidana yang akan diatur tersebut disisipkan kedalam KUHP, walaupun Undang-Undang yang akan diatur tersebut bukan secara khusus mengatur tentang perubahan KUHP.

Teknik penyisipan ketentuan pidana ke dalam KUHP seperti ini dimana undang-undang yang menyisipkan ketentuan ke dalam KUHP tersebut bukan secara khusus ditujukan sebagai UU perubahan atas KUHP sebenarnya telah sering dipraktekan. Sebagai contoh, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang kemudian diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001) sebenarnya melakukan teknik ini, yaitu menambahkan sanksi pidana dalam beberapa ketentuan dalam KUHP, walaupun undang-undang tersebut bukanlah undang-undang perubahan. Selain UU No. 31 Tahun 1999 tersebut, UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Judi dan PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan Agama juga disusun dengan teknik penyusunan yang sama.[4] Dengan teknik penyusunan seperti ini maka (jika ditindaklanjuti dengan melakukan kompilasi ulang KUHP) dapat memudahkan masyarakat umum maupun aparat penegak hukum dan hakim dalam mengetahui perkembangan ketentuan pidana, oleh karena mereka tidak harus memiliki seluruh undang-undang yang memuat ketentuan pidana, namun cukup KUHP yang telah terkompilasi/terupdate tersebut.

Untuk mendukung hal di atas memang harus diberikan petunjuk bagi perancang kapan suatu ketentuan pidana harus dilakukan dengan cara menyisipkan kedalam KUHP kapan dapat diatur tersendiri sebagai delik yang berada di luar KUHP. Hal tersebut sebenarnya tidaklah terlalu sulit, secara umum dapat dikatakan tindak pidana yang dapat disisipkan ke dalam KUHP adalah tindak pidana yang rumusannya dapat dipahami secara utuh tanpa harus membaca sebagian atau keseluruhan undang-undang itu sendiri. Sebagai ilustrasi misalnya ketentuan-ketentuan pidana yang ada di Pasal 33 dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang berbunyi[5]:

(1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Secara sekilas memang terkesan untuk memahami ketentuan pasal 33 ayat (1) tersebut kita harus melihat juga pasal 21 ayat (1) sehingga rumusan ini tidak termasuk dalam rumusan yang bisa disisipkan/ditambahkan ke dalam KUHP, namun jika kita melihat pasal 21 ayat (1) yang dimaksud tersebut ternyata berisi ketentuan yang sama, seperti terlihat dari isi pasal 21 ayat (1) dan pasal 23 berikut:

Pasal 21 ayat (1):

(1) Rupiah wajib digunakan dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya

yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pasal 23

(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.

 Teknik Yang Memperumit Rumusan Pidana

Selain masalah ditinggalkannya model/ kodifikasi teknik penyusunan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 yang sebelumnya juga terdapat dalam UU No. 10 Tahun 2004 juga menimbulkan kerumitan dalam penyusunan ketentuan pidana. Hal tersebut terlihat dalam nomor 112 Lampiran II yang menyatakan

112.    Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah.

Ketentuan diatas mengesankan bahwa untuk dapat merumuskan ketentuan pidana maka harus terdapat norma larangan atau norma perintah pada bagian-bagian sebelumnya dalam undang-undang yang sedang dirancang, atau dengan kata lain dipisahkannya antara norma primer dan norma sekunder, atau dicantumkannya terlebih dahulu norma primer yang berisi larangan atau perintah kemudian dalam ketentuan pidana jika ketentuan tersebut hendak merumuskan juga norma primairnya maka harus dirujuk pula pasal yang memuat norma primair tersebut. Perumusan ketentuan pidana seperti ini membuat rumusan menjadi tidak efisien serta cenderung bertele-tele. Contoh perumusan ketentuan pidana yang mengikuti ketentuan ini yang pada akhirnya hanya menyulitkan misalnya ketentuan pidana dalam UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Untuk mengetahui ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 155 UU tersebut pembaca harus membaca beberapa pasal lainnya yang sebenarnya isinya serupa, sebagaimana terlihat dibawah ini:

Pasal 155

Badan hukum yang dengan sengaja melakukan serah terima dan/atau menerima pembayaran lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[6]

Setelah membaca pasal 155 di atas seakan kita harus melihat juga pasal 138. Namun setelah kita membaca pasal 138, ternyata substansinya tidak berbeda dengan substansi pasal 155 itu sendiri kecuali tanpa ancaman hukuman.

Pasal 138

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

Kerumitan semakin terlihat setelah kita membaca pasal 138 dimana untuk memahami pasal 138 seakan kita harus melihat juga pasal 45. Namun, sekali lagi, setelah membaca pasal 45 ternyata substansi yang diatur dalam pasal tersebut tidak berbeda dengan pasal 138 itu sendiri.

Pasal 45

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli, sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).

Pasal 42

(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status pemilikan tanah;

b. hal yang diperjanjikan;

c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;

d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan

e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Selain UU No. 1 Tahun 2011 undang-undang lainnya yang dirumuskan dengan ketentuan sebagaimana nomor 112 (yang dulunya diatur di nomor 85 Lampiran UU 10 Tahun 2004) juga terjadi di UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan serta beberapa undang-undang lainnya.

Minimnya Panduan Pengaturan Ancaman Hukuman

Masalah lain yang juga kurang diatur dalam UU ini yaitu mengenai panduan dalam menentuan besarnya ancaman hukuman yang akan diatur. Mengenai ketentuan ancaman hukuman UU khususnya nomor 114 Lampiran II hanya mensyaratkan:

114.   Dalam menentukan lamanya pidana atau banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.

Ketentuan tersebut dirasa masih sangat bersifat umum. Ketentuan tersebut bahkan tidak menjelaskan jenis-jenis pidana apa saja yang bisa diatur, apakah ketentuan dalam pasal 10 KUHP lah yang menjadi pedomannya atau undang-undang yang sedang dirancang dapat mengatur jenis hukuman baru di luar jenis pidana pokok yang ada dalam pasal 10 KUHP tersebut atau tidak.

Kejelasan lebih lanjut mengenai panduan bagi perancang dalam menentukan besaran jenis maupun besaran ancaman sanksi pidana sebenarnya dapat dibuat. Misalnya dengan menentukan jenis pidana pokok apa yang dapat dijatuhkan untuk tindak pidana dalam yang masuk dalam kualifikasi Pelanggaran, begitu juga besaran maksimum ancaman hukuman khususnya penjara dan kurungan yang dapat diatur. Khusus mengenai hal ini misalnya diatur bahwa untuk Pelanggaran ancaman hukuman yang dapat diatur hanyalah penjara, kurungan dan denda dengan ketentuan untuk pidana penjara dan kurungan setinggi-tingginya hanyalah 1 (satu) tahun.

Untuk Kejahatan, walaupun pada akhirnya penentuan besaran ancaman hukuman memang harus melihat pada dampak yang dapat ditimbulkan serta unsur-unsur sosiologis lainnya, panduan umum penentuan besaran ancaman hukuman sebenarnya bisa diturunkan lebih lanjut lagi. Pertama misalnya dengan menyatakan bahwa dalam menentukan besaran ancaman hukuman harus terlebih dahulu memperhatikan besaran ancaman pidana yang ada dalam KUHP maupun undang-undang lainnya yang juga mengatur ketentuan pidana untuk melihat apakah telah ada delik umumnya dalam KUHP atau undang-undang lainnya tersebut. Jika delik umum tersebut telah ada maka ancaman hukuman yang akan diatur harus memperhatikan besaran ancaman hukuman dari delik umum tersebut.

Selain itu untuk tindak pidana-tindak pidana yang belum ada delik umumnya dalam KUHP maupun undang-undang lainnya penentuan besaran ancaman hukuman dapat disusun dengan membuat semacam panduan umum. Panduan tersebut misalnya dengan membuat kategori umum gradasi kejahatan dalam beberapa kategori dimana masing-masing kategori disebutkan jenis pidana pokok yang dapat dicantumkan serta ancaman maksimumnya. Penyusunan kategori tersebut dapat disusun dengan memperhatikan juga ketentuan-ketentuan yang ada dalam Hukum Acara Pidana, yaitu dapat dikenakannya atau tidak penahanan dan jenis Acara Sidang yang. Sebagai ilustrasi misalnya kategori kejahatan dibagi menjadi 4 (empat) jenis, Ringan, Biasa, Serius/Berat dan Sangat Serius. Untuk kategori kejahatan Ringan, Biasa dan  Serius/Berat jenis pidana pokok yang bisa diatur hanyalah Penjara dalam waktu tertentu, Kurungan dan Denda, sehingga ancaman hukuman Pidana Mati dan Penjara Seumur Hidup hanya dapat diberikan untuk Kejahatan yang masuk dalam kategori Sangat Serius.

Untuk besaran maksimum pidana penjara dan kurungan untuk kategori Ringan, Biasa dan Serius/Berat dapat diatur misalnya untuk kategori Ringan ancaman pidana penjara maksimumnya dapat mengacu pada pasal 205 KUHAP yaitu setinggi-tingginya 3 bulan. Dengan demikian perancang “dipaksa” untuk membayangkan bahwa tindak pidana yang akan diatur apakah akan diperiksa dengan menggunakan Acara Cepat atau Acara Biasa sebagaimana pembagian jenis Acara Pemeriksaan dalam KUHAP.

Untuk kategori Biasa parameter yang dapat menjadi acuan misalnya mengenai dapat dikenakan penahanan atau tidaknya perbuatan yang akan dikriminalkan, atau dengan kata lain ancaman hukuman yang termasuk dalam kategori Biasa ini yaitu dibawah 5 tahun. Untuk kategori Serius/Berat ancaman hukuman yang dapat diatur yaitu 5 tahun ke atas hingga 15 tahun. Dengan pembagian seperti ini maka hanya perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori Serius/Berat saja lah yang dapat dikenakan upaya paksa penahanan.

Hal lain yang perlu diperhatikan mengenai penentuan ancaman hukuman ini yaitu ancaman pidana minimum. Saat ini belum ada standar yang jelas kapan suatu tindak pidana dapat dikenakan ancaman pidana minimum, padahal selain ancaman pidana maksimum, ancaman pidana minimum juga dapat menunjukkan tingkat keseriusan suatu tindak pidana. Sangatlah janggal jika terdapat suatu tindak pidana yang ancaman pidana penjara maksimumnya 2 tahun dengan ancaman pidana penjara minimum 1 tahun[7] sementara terdapat tindak pidana lainnya yang ancaman pidana penjaranya jauh diatas 2 tahun bahkan pidana mati namun tanpa ancaman pidana penjara (maupun denda) minimum.[8] Sayangnya UU No. 12 Tahun 2011 ini juga sama sekali tidak mengatur mengenai hal ini.

Penutup

Panduan yang lebih jelas mengenai teknik perumusan ketentuan pidana sangatlah penting, oleh karena ketentuan pidana sangat erat kaitannya dengan hak-hak asasi manusia. Banyak hal yang dalam UU No. 12 Tahun 2011 ini khususnya terkait dengan ketentuan pidana UU No. 12 Tahun 2011 ini yang belum di atur lebih jelas. Akan tetapi untungnya Pasal 64 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011 ini memungkinkan perubahan Teknik Penyunan Peraturan Perundang-Undangan melalui Peraturan Presiden, dengan demikian perbaikan-perbaikan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Tulisan kecil ini tentunya tidak dimaksudkan untuk menjawab seluruh persoalan yang ada mengenai teknik perumusan ketentuan pidana, namun semoga dapat bermanfaat bagi perbaikan ke depan.


[1] Data tersebut dihitung hingga tahun 2011 dengan undang-undang terakhir yang dicatat yaitu UU No. 15 Tahun 2011.

[2] Penulis mendapatkan sumber UU No. 12 Tahun 2011 dari situs Setneg.go.id, Hukumonline.com dan Setkab.go.id.

[3] Mengenai pencantuman dengan jelas jenis tindak pidana yang diatur sebagai Kejahatan atau Pelanggaran, banyak undang-undang yang sepertinya tidak mengindahkan hal ini. Pada Undang-Undang yang disahkan pada tahun 2011 ini saja, dari 9 buah UU yang memuat ketentuan pidana hanya 1 (satu) buah UU yang secara tegas mencantumkan jenis tindak pidana yang diaturnya sebagai Kejahatan atau Pelanggaran, yaitu UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, sementara itu 8 UU lainnya, yaitu UU No. 1 Tahun 2011, UU No. 3 Tahun 2011, UU No. 4 Tahun 2011, UU No. 5 Tahun 2011, UU No. 6 Tahun 2011, UU No. 9 Tahun 2011, UU No. 10 Tahun 2011, dan UU No. 13 Tahun 2011 sama sekali tidak mencantumkan klasula ini. Bahkan anehnya di UU No. 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi ketentuan yang mencantumkan jenis tindak pidana tersebut yang sebelumnya terdapat di pasal 76 justru dihapuskan. Ketidakjelasan jenis tindak pidana apakah termasuk sebagai Kejahatan atau Pelanggaran akan berdampak pada ketidakjelasan mengenai penghitungan masa daluarsa penuntutan yang diatur dalam pasal 78 ayat 1 KUHP yang menyatakan bahwa kewenangan penuntutan untuk Pelanggaran hapus karena daluarsa setelah 1 tahun, sementara daluarsa untuk Pejahatan dengan ancaman yang paling ringan setelah 6 tahun. Selain mengenai penghitungan daluarsa, kejelasan mengenai jenis tindak pidana juga akan berdampak pada dapat dipidananya atau tidak percobaan atas tindak pidana tersebut, dimana dalam pasal 54 KUHP dinyatakan Percobaan untuk melakukan Pelanggaran tidak dipidana.

[4] UU No. 7 Tahun 1974 menambahkan ancaman pidana yang ada di pasal 303 KUHP serta memindahkan pasal 542 KUHP yang terletak dalam Buku III menjadi pasal 303bis yang terletak dalam Buku II. Sementara itu PNPS No. 1 Tahun 1965 menambahkan 1 pasal di antara pasal 156 dan 157 KUHP yaitu pasal 156a.

[5] Jika dicermati satu per satu ketentuan-ketentuan pidana yang terdapat dalam UU No. 7 Tahun 2011 tersebut bahkan tidak hanya Pasal 33 di atas yang bisa ditambahkan saja ke dalam KUHP, namun pada dasarnya seluruh pasal pidana yang ada dalam UU tersebut sebenarnya bisa cukup menambahkan (atau mengubah) ketentuan yang ada dalam KUHP, terlebih mengingat pada dasarnya ketentuan mengenai Pemalsuan Uang memang telah ada dalam KUHP, yaitu pada bab X tentang Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas yang ada di Buku II KUHP.

[6] Selain masalah rumitnya permusuan ketentuan pidana seperti terlihat dalam pasal 155 tersebut, pasal ini juga mengandung kejanggalan yaitu memberikan ancaman hukuman kurungan padahal subyek yang diatur adalah Badan Hukum bukan orang dalam pengertian natural person. Janggal oleh karena bagaimana Badan Hukum yang merupakan konsep abstrak dapat dikenakan pidana kurungan?

[7] Lihat Pasal 260 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

[8] Ketidaksistematisan dalam penentuan ancaman hukuman maksimum dan minimum yang fatal terjadi di UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Ancaman hukuman penjara maksimum yang diatur dalam Pasal 3 UU tersebut yaitu penjara seumur hidup dengan ancaman penjara minimumnya selama 1 tahun. Sementara itu untuk pidana penjara maksimum yang diatur dalam pasal 8 selama-lamanya 15 tahun dengan ancaman penjara minimum serendah-rendahnya 3 tahun. Yang menjadi permasalahan Pasal 8 pada dasarnya merupakan delik yang lebih khusus dari Pasal 3, atau setidak-tidaknya terdapat suatu perbuatan yang dapat dikenakan kedua pasal tersebut, misalnya jika seorang pegawai negeri menggelapkan uang negara. Dengan konstruksi ancaman penjara maksimum dan minimum yang ada dalam kedua pasal tersebut pasal mana yang akan digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai dakwaan primair, apakah pasal 3 karena ancaman maksimumnya lebih tinggi dari pasal 8 atau pasal 8 karena ancaman minimumnya lebih tinggi dari pasal 3?

Leave a comment