Siapa Suruh Jadi Hakim?


“Siapa suruh jadi hakim?” “Kalau mau kaya jangan jadi hakim mas!” Mungkin ini tanggapan sebagian orang ketika mendengar berita para hakim menuntut agar gajinya ditingkatkan dan hak-hak lainnya yang ada di undang-undang untuk segera direalisasikan, bahkan sampai mengancam akan melakukan mogok sidang.

Siapa suruh jadi hakim. Pernyataan yang sekilas ada benarnya, tapi…

Ok, mari kita bayangkan, bagaimana jika seluruh hakim menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban: “oh ya, tidak ada yang menyuruh saya menjadi hakim. Jadi hakim ternyata gajinya kecil, dan katanya harus kecil. Kalau begitu saya besok berhenti menjadi hakim”. Kosong lah semua pengadilan, tak ada lagi orang yang menggunakan toga dan memegang palu yang mengadili perkara.

“Bagus lah itu” jawab sang rakjat yang mengatakan “siapa suruh jadi hakim?” tadi, “Toh mereka pada korup. Ini kesempatan bagi negara untuk mengganti mereka dengan hakim-hakim yang baik. Pasti banyak anak muda yang idealis yang mau menggantikan mereka.”

Lalu pendaftaran calon hakim dibuka untuk menggantikan seluruh hakim yang mengundurkan diri tersebut. Datanglah berbondong-bondong Sarjana Hukum mulai dari yang baru lulus kuliah hingga bangkotan untuk mendaftarkan diri sebagai calon hakim. Yang bangkotan tentu saja akan pulang sambil menunduk karena usianya telah melewati batas maksimal untuk menjadi calon hakim, yaitu 40 tahun. Sebagian yang hampir berusia 40 tahun, yang telah memiliki keluarga dan telah memiliki pekerjaan, entah sebagai advokat, dosen, notaris atau profesi hukum lainnya, mungkin juga akan pulang, batal mendaftar, begitu mengetahui gaji pokoknya begitu ia menjadi hakim sebesar +/- Rp 1,9 juta, plus tunjangan jabatan hakim sebesar Rp 650 ribu. “ga jadi deh, mau gw kasih makan apa anak istri/suami gue dengan take home pay segitu? Vonis? Berkas? Ngok!”

“Ya, pulang aja mas, ga ada yang nyuruh situ jadi hakim juga kok” cetus sang rakjat tadi.

Dari antrian pendaftar tersebut tersisa lah sejumlah pendaftar. Sebagian dari sisa pendaftar tersebut mungkin lulusan terbaik, top ten, dari masing-masing fakultas hukumnya, tentu yang belum bekerja di tempat lain. Ya, mungkin akan ada sih beberapa yang sudah bekerja. Sisanya akan dipenuhi oleh sarjana hukum yang baru lulus kuliah yang usianya sudah di atas 25 atau mendekati 25 tahun yang belum bekerja.

Sebagian dari para calon yang merupakan lulusan-lulusan terbaik kemudian berfikir ulang, “Rp 1,9 juta + Rp 650 ribu + tunjangan khusus Rp 2,5 jutaan, ditempatkan di daerah terpencil, tanpa jaminan keamanan, jaminan perumahan yang layak, jaminan kesehatan…dst…hmm…kalo di lawfirm di jakarta mungkin jumlah segitu bisa didapat dalam waktu 1 minggu aja, plus tinggal di kota besar. Hmm… ga jadi deh, sayang nih ijazah”. Pulang lah sebagian calon tersebut.

“Ya, pulang aja om, ga ada yang nyuruh situ jadi hakim kok, cih!”

Sekarang tinggal sisanya tentu. Seperti apa? Jadi ingat pepatah bule, ‘You pay peanut you get monkey’. Ah, tapi itu berlaku untuk orang-orang bule kok. Tentu dari sisa pendaftar tersebut banyak juga yang idealis, yang tidak masalah dengan gaji sekecil itu. Ya, tentu saja sebagian lagi juga bukan orang yang idealis, pastinya ada juga yang hanya pencari kerja semata. Berapa persen? Entah.

“Yang ga idealis, yang ga mau gajinya cuma sebesar itu silahkan pulang, ga ada yang menyuruh kalian jadi hakim!!”

Mas, saya mau nanya nih sekarang, yakin semua pendaftar ini idealis dan ga masalah digaji kecil? “ya gak, tapi pasti masih banyak yang idealis, makanya kita perlu seleksi lagi” Oh, ok, tapi yakin cukup banyak dan bisa mengisi 800an pengadilan? “Kita musti optimis lah om, cukup banyak lah!” Ok, Cuma nanya kok.

Mas, mau nanya lagi nih, boleh? “Boleh dong.” Ok, thanx, saya ga mau nannya bagaimana cara nyeleksinya, saya asumsikan saja ada mekanisme yang cespleng, bisa memiliah calon hakim yang baik dan calon hakim yang buruk. Yang saya mau tanya sekarang, bagaiamana jika seuatu saat mereka yang sudah terpilih ini,yang idealis-idealis ini kebutuhan hidupnya meningkat seiring dengan waktu, dan menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan? Apakah mereka masih bisa dibilang idealis?

“Hmm…ga boleh dong! Kan ga ada yang nyuruh mereka jadi hakim!” Lalu? Suruh mereka mengundurkan diri lagi? “Ya. Tapi kalau mereka benar-benar idealis pasti ga akan menuntut lebih. Hakim yang baik itu yang ga menunutut gaji naik om!”

Ok. Anda yakin bisa ada calon-calon hakim seperti yang anda bayangkan itu di antara para pendaftar ini? “Yakin dong. Penduduk indonesia ada 250 jutaan mas, masa ga ada yang seperti itu?”

Ok, sekarang pertanyaan terakhir. Bagaimana anda bisa begitu yakin, para hakim yang kemarin menuntut kenaikan gaji tersebut dulunya bukan orang-orang idealis yang seperti anda bayangkan, atau setidaknya sebagian di antara mereka?

“[kemudian hening]”

Siapa suruh jadi hakim. Pernyataan yang terkesan sederhana, tapi…

Apakah jabatan hakim itu ada karena ada segerombolan sarjana hukum yang membutuhkan pekerjaan? Atau sebenarnya jabatan hakim itu ada karena masyarakat membutuhkan pihak yang diberikan kewenangan untuk mengadili suatu sengketa (hukum)? Apakah masyarakat bisa memilih untuk tidak bersengketa?

Masyarakat bisa menyelesaikan sendiri setiap sengketanya. Oh ya, seperti para pemain bola di piala dunia bisa menentukan sendiri apakah seorang pemain hands ball atau tidak dan mengeluarkan kartu kuning sendiri, tanpa seorang wasit. Ada sih pemain bola yang tidak perlu wasit, dulu waktu saya kecil kalau main bola ga perlu wasit, semua pemain bisa menjadi wasit.

Hukum ada karena ada masyarakat. Hukum ada agar terjadi kestabilan/ketertiban (order). Dalam dunia nyata konflik selalu dan akan selalu hadir, karena dalam setiap masyarakat akan selalu ada kemajemukan; masyarakat terdiri dari manusia, dan manusia antara satu dan lainnya selalu berbeda. Perbedaan selalu menimbulkan friksi. Tapi perbedaan adalah keniscayaan. Jadi friksi atau konflik atau apapun namanya akan selalu hadir.

Hukum ada untuk meminimalisir konflik, menghindari terjadinya konflik sekaligus menyelesaikan konflik apabila konflik telah terjadi agar tidak terjadi konflik yang lebih besar lagi. Tapi hukum tidak sebatas seperangkat aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Aturan hanyalah semacam penanda batas, batas-batas hak, kewajiban, tanggung jawab dan kewenangan. Ketika batas tersebut diduga dilanggar, maka harus ada yang bisa memutus apakah benar seseorang benar telah melanggar batas tersebut atau tidak, serta apa sanksinya. Di situ lah peran jabatan yang namanya hakim.

Jadi, hakim adalah pranata yang tidak bisa dipungkiri perannya, keberadaannya dalam setiap masyarakat (yah, kaum anarkis bisa berteori sebaliknya, tentu saja. Tapi sayangnya tidak semua orang setidaknya hingga detik ini yang menganut paham –atau apapun istilahnya- anarkisme).

Oleh karena jabatan hakim adalah jabatan yang memilii fungsi dan peran dalam setiap masyarakat, maka keberadaannya ada bukan karena adanya segerombolan sarjana hukum yang membutuhkan pekerjaan. Namun sebaliknya. Dia ada karena memang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sekarang, masih kah kita bisa bilang “siapa suruh jadi hakim?” kepada para hakim yang kini menuntut hak-haknya?

4 thoughts on “Siapa Suruh Jadi Hakim?

  1. kalo gaji +/- Rp 1,9 juta, plus tunjangan jabatan hakim sebesar Rp 650 ribu, tapi gaya hidup berlebih ( rumah banyak, mobil mewah dll ) maka itu suatu tanda tanya besar……………..

  2. Pingback: Ini Bukan Hanya Soal Gaji | Ars Aequi et Boni

  3. Pingback: HAKIM KOG MOGOK ? (Saya Prihatin) | SEKTIEKAGUNTORO

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s