Analisa Putusan MA No. 572 K/ Pid/2003 – Kasus Akbar Tandjung


Dakwaan:

Primair

‘Menerima dan menggunakan uang BULOG sebesar Rp. 40 milyar tidak sesuai ketentuan yang berlaku untuk itu, serta diluar kepentingan tugas dan fungsi BULOG atau menerima dan menggunakan uang Rp. 40 milyar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara penggunaan uang negara.’

 

Subsidair

‘Menerima dan menggunakan uang BULOG sebesar Rp. 40 milyar tidak sesuai ketentuan yang berlaku untuk itu, serta diluar kepentingan tugas dan fungsi BULOG atau menerima dan menggunakan uang Rp. 40 milyar tersebut bertentangan dengan tugas dan fungsi Kantor Sekretariat Negara atau setidak-tidaknya bertentangan dengan ketentuan  yang berlaku dalam tata cara penggunaan uang negara.’

 

Para Terdakwa :

Terdakwa I – Ir. Akbar Tandjung selaku Mensesneg dan Koordinator Program Pembagian Sembako

Terdakwa II – H. Dadang Sukandar selaku Ketua Yayasan Raudhatul Jannah

Terdakwa III – Winfried Simatupang selaku Direktur PT. Bintang Laut Timur Baru

 

 

 

 

Analisa Atas Putusan Kasasi Mahkamah Agung

 

Dakwaan Primer

Pertimbangan I – Keadaan Darurat & Tidak adanya Aturan (hal. 207-208)

 

Dalam putusannya di hal. 208 MA mengatakan:

Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti di atas MA berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa I yaitu menerima dana non budgeter sebesar 40 M yang kemudian diserahkan kepada Terdakwa II untuk digunakan dalam pengadaan dan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin, bukan merupakan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana, baik Terdakwa I baik selaku Mensesneg maupun sebagai koordinator program pengadaan dan penyaluran sembako tersebut, TAPI MERUPAKAN SUATU TINDAKAN YANG HARUS DILAKUKAN OLEH  SEORANG KOORDINATOR/MENSESNEG DALAM KEADAAN DARURAT (capital oleh pen.) sesuai dengan kewenangan diskresioner yang ada padanya untuk melaksanakan perintah Presiden sebagai atasannya. Bahwa dalam keadaan darurat, tentu tidak dapat diharapkan menempuh prosedur dan cara-cara dalam keadaan normal, TERLEBIH PULA PENGGUNAAN DANA PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM BENTUK DANA NON-BUDGETER HANYA DIATUR OLEH APA YANG DISEBUT ‘KONVENSI’, TIDAK SEPERTI HALNYA KEUANGAN NEGARA DALAM BENTUK APBN YANG PENGGUNAAN DAN PENGELOLAANNYA DIATUR OLEH KEPPRES (capital oleh pen.), misalnya untuk pengadaan barang oleh pasal 21 sampai dengan 30 dalam Keppres No. 16 Tahun 1999 dan Keppres No. 18 Tahun 2000 sebagaimana telah dikemukakan di atas.

 

Dari alinea di atas terdapat ketidakjelasan oleh karena di dalamnya terdapat 2 (dua) pokok pikiran yang mungkin tidak sinkron satu sama lain kalau tidak bisa dikatakan kontradiktif. Pokok pikiran tersebut yaitu;

  1. Tindakan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana atau setidaknya bukan merupakan penyalahgunaan wewenang karena dilakukan dalam keadaan darurat;

 

  1. Tindakan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana karena tidak ada aturan yang mengaturnya sehingga tidak ada pelanggaran atas aturan.

 

Berikut ini akan dijabarkan analisa mengenai masing-masing pokok pikiran tersebut serta analisa mengenai apakah kedua pokok pikiran tersebut mengandung kontradiksi atau tidak.

 

Analisa atas pokok pikiran pertama / Keadaan Darurat

 

Dengan mengatakan bahwa tindakan Terdakwa bukan penyalahgunaan wewenang karena dilakukan dalam keadaan darurat MA dengan demikian berarti menyatakan bahwa dalam tindakan Terdakwa merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang akan tetapi pertanggungjawabannya dihapuskan oleh karena adanya keadaan darurat. Dalam hukum pidana memang dikenal alasan tersebut, istilah yang lebih tepat untuk itu adalah adanya keadaan memaksa atau dalam istilah Belandanya yaitu Noodtoestand dan dalam KUHP noodtoestand  sebagai dasar penghapus pemidanaan terdapat dalam pasal 48 yang berbunyi:

Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.

 

Mengenai noodtoestand  ini terdapat beberapa doktrin hukum pidana yang menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan noodtoestand  serta apa syarat-syarat dari noodtoestand  tersebut.

 

Prof. J Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana mengatakan bahwa keadaa memaksa adalah ‘dorongan eksternal yang menekan pelaku tindak pidana sedemikian rupa sehingga ia secara nalar tidak mampu menangkalnya.’.[1] Sementara itu Utrecht mengatakan ‘dalam hal noodtoestand, pembuat (pelaku tindak pidana – pen.) dipaksa memilih diantara dua hal yang buruk. Ia memilih melakukan suatu delik dari pada tergilas atau mendapat kerugian pesar oleh paksaan dari luar itu.’[2]

 

Bentuk-bentuk noodtoestand  yaitu(Utrecht I hal. 358-359):

  1. suatu pertentangan antara kepentingan hukum,
  2. suatu pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban hukum, dan
  3. suatu pertentangan antara kewajiban hukum.[3]

 

Noodtoestand sebagai suatu dasar penghapus pemidanaan sebenarnya tidak serta merta dapat diterima begitu saja oleh hakim. Menurut Utrecht apabila pelaku harus memilih menjamin salah satu dua kepentingan hukum atau kewajiban hukum seperti di atas maka ukuran-ukuran yang harus dipakai sehingga dapat diterima adanya suatu noodtoestand  yang dapat menghapus pidana yaitu:

  1. apabila ternyata hal tidak memilihnya salah satu diantara dua kepentingan hukum itu sudah pasti mengakibatkan kepentingan-kepentingan hukum tersebut kedua-duanya akan dihancurkan.
  2. apabila ternyata hal kepeningan hukum yang dikorbankan adalah lebih kecil dari kependingan yang hendak dijamin. [4]

 

Sedikit berbeda dari pendapat Utrecht tersebutProf. J. Remmelink mengatakan bahwa yang perlu diperhatikan sejumlah persyaratan umum untuk menguji keabsahan penerapan alasan peniadaan pidana karena noodtoestand , yaitu:[5]

  1. proporsionalitas, yaitu apakah ada kesebandingan kepentingan satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini serupa dengan pendapat Utrecht di atas, bahwa jika ternyata tidak ada suatu kepentingan yang harus dikorbankan, atau jika kepentigan hukum yang dikorbankan lebih besar dari kepentingan yang hendak dijamin maka tidak noodtoestand  dianggap tidak ada.
  2. subsidiaritas, yaitu apakah ada atau tidak adanya alternatif lain bagi pelaku. Dalam hal ini jika ternyata masih ada alternatif lain bagi pelaku maka pelaku tidak dapat berlindung dibalik alasan noodtoestand .
  3. culpa in causa, yaitu apakah suatu keadaan memaksa tersebut disebabkan sendiri oleh pelaku. Dalam hal ini jika keadaan darurat atau memaksa tersebut disebabkan sendiri oleh pelaku maka noodtoestand  tidak bisa dijadikan alasan. Sebagai contoh misalnya seorang suami yang didakwa pasal 304 (membiarkan orang dalam kesengsaraan) karena tidak menghidupi keluarganya tidak bisa berlindung dibalik pasal 48 dengan alasan ia berada jauh dari keluarganya jika hal tersebut terjadi karena suami itu sendiri yang dengan sengaja kabur dari rumah karena selingkuh misalnya.
  4. garantentstellung (fungsi penjagaan/perlindungan), yaitu apakah pelaku termasuk orang-orang yang karena fungsi atau jabatannya diwajibkan oleh hukum untuk mencegah terjadinya suatu akibat yang tidak dikehendaki. Jika ternyata pelaku termasuk dalam kategori tersebut maka noodtoestand  tidak dapat dijadikan alasan. Sebagai contoh misalnya anggota pemadam kebakaran yang tidak mau melaksanakan tugasnya memadamkan api dengan alasan karena takut terbakar. Karena memang tugas dari pemadam kebakaran adalah memadamkan api dan terbakar merupakan resiko pekerjan tersebut maka terhadapnya noodtoestand  tidak dapat dijadikan alasan.

 

 

Dalam ilmu hukum pidana noodtoestand  tidak serta merta menghapus sifat melawan hukum atau menjadi alasan pembenar, berdasarkan doktrin dikatakan bahwa noodtoestand  bisa menjadi alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) atau sekedar alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) tergantung dari kasusnya (kasuistis). Menurut pendapat VOS dalam buku Utrecht I dikatakan bahwa yang menjadi ukuran apakah suatu noodtoestand  merupakan rechtvaardigingsgrond  atau schuldluitsluitingsgrond adalah apakh perbuatan yang dilakukan itu bukan merupakan perbuatan yang ‘maatschappelijk ajkeurenswaardig, (tidak dapat diterima oleh masyarakat), jika ternyata perbuatan tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat maka perbuatan tersebut merupakan suatu schulduitsluitingsgrond bukan rechtvaardigingsgrond. [6]

 

Hal tersebut menjadi penting oleh karena alasan penghapus pidana tersebut mempunyai implikasi terhadap penyertaan. Rechtvaardigingsgrond  tidak hanya menghapus kesalahan atau pertanggungjawaban dari pelaku semata, akan tetapi tindakan dimaksud bukan merupakan tindak pidana sehingga terhadap pelaku sebagai doenpleger beserta pelaku turut serta (medepleger) kesemuanya tidak dapat dipidana. Sedangkan jika dasar penghapus pidana yang dikenakan bagi doenpleger adalah schuldluitsluitingsgrond yang mana hal tersebut tetap tidak membenarkan tindakan dimaksud akan tetapi hanya menghilangkan pertanggungjawaban dari pelaku semata terhadap para pelaku turut serta (medepleger) tidak serta merta juga tidak dipidana.

 

Yang menjadi permasalahan dari pertimbangan MA tersebut adalah MA ternyata tidak mempertimbangkan doktrin-doktrin tersebut, bahkan seakan-akan menerima begitu saja dalil dari Terdakwa mengenai keadaan darurat yang mana dalam Memori Kasasi-nya para Terdakwa menyatakan bahwa krisis multidimensional sebagai keadaan darurat (noodtoestand ) sehingga merupakan facta notoir dimana berdasarkan pasal 184 ayat (2) KUHAP tidak perlu dibuktikan. Dengan menerima begitu saja dalil dari para Terdakwa maka sebenarnya MA telah mengaburkan mengenai makna dari pasal 184 ayat (2) tersebut. Karena antara krisis multidimensional dengan noodtoestand  sebagai dasar penghapus pidana merupakan 2 hal yang berdiri sendiri. Krisis multidimensional sebagai facta notoir mungkin dapat diterima, akan tetapi tetap perlu dibuktikan juga apakah atas fakta tersebut dengan tindakan Terdakwa terhadap relasi yang berbanding lurus, atau dengan kata lain apakah memang benar krisis multidimensional sebagai fakta memang memaksa Terdakwa I mengabaikan norma-norma hukum maupun norma masyarakat.

 

Jika kita terapkan doktrin-doktrin mengenai noodtoestand  di atas maka yang seharusnya menjadi pertanyaan yang relevan untuk menyatakan bahwa terdapat noodtoestand  dalam perkara ini adalah:

1.        apakah terdapat keseimbangan kepentingan hukum/ kewajiban hukum atau memenuhi syarat proporsionalitas? Lebih kongkritnya, apakah jika Terdakwa I tidak mengabaikan norma-norma (baik Keppres maupun asas kepatutan) maka kepentingan lainnya akan terabaikan dalam hal pelaksanaan dari program sembako menjadi gagal?

2.        apakah memang tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan oleh Terdakwa?

3.        apakah Terdakwa I tidak termasuk dalam kategori Garantentstellung yang karena fungsi dan jabatannya diwajibkan oleh hukum untuk mencegah terjadinya suatu akibat yang tidak dikehendaki? 

 

Selain itu seandainya pun hakim sudah benar dalam hal bahwa terdapat noodtoestand,  maka melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa I merupakan suatu tindakan yang maatschappelijk ajkeurenswaardig yang dapat dilihat dari besarnya penolakan masyarakat atas tindakan Terdakwa I tersebut maka seharusnya hakim menyatakan bahwa terhadap Terdakwa I tidak dapat dipidana dengan alasan dihapuskannya kesalahan atau schulduitsluitingsgrond akan tetapi tindakan tersebut tetap tidak dapat dibenarkan. Selanjutnya maka putusan MA yang menyatakan terhadap Terdakwa II dan III yang dalam dakwaan primari didakwa dengan pasal 55 ayat ke-1 KUHP (hal. 211  alinea 5) harus pula dibebaskan oleh karena Terdakwa I sebagai doenpleger terbukti tidak bersalah melakukan tindak pidana sangatlah tidak tepat.

 

Dengan banyaknya kesalahan-kesalahan tersebut maka tidak berlebihan jika berdasarkan hukum MA telah mengadili dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang atau setidaknya dilihat dari sudut pandang ilmu hukum pidana pertimbangan yang membebaskan Para Terdakwa dengan alasan Keadaan Darurat / Noodtoestand sangat bermasalah. 

 

Analisa atas pokok pikiran kedua / Ketiadaan Aturan

 

Dalam pertimbangannya tersebut MA memang tidak secara jelas merumuskan apakah ketiadaan aturan formil juga merupakan salah satu pertimbangan MA dalam memutus. MA hanya mengatakan ‘…terlebih pula penggunaan dana pengelolaan Keuangan Negara dalam bentuk dana non budgeter hanya diatur oleh apa yang disebut ‘konvensi’…dst.’ Akan tetapi jika perkataan tersebut dihubungkan dengan dasar pertimbangannya pada point 3.2.2. yang berbunyi:

Bahwa tidak ada aturan yang tegas yang menentukan apakah penggunaan dana non budgeter untuk pengadaan barang dan jasa harus dilakukan berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1999 atau Keppres no. 18 Tahun 2000.

 

serta dengan melihat keberatan dari para Terdakwa dalam Memori Kasasinya huruf 11 (dalam putusan MA huruf 18 hal. 126 dst.) yang intinya menyatakan bahwa terhadap Terdakwa I seharusnya tidak dapat dipidana oleh karena tidak adanya aturan yang dilanggar maka dapat disimpulkan bahwa ketiadaan aturan formil yang dilanggar juga merupakan alasan MA membebaskan Terdakwa I. Pertimbangan MA tersebut dengan demikian juga membatalkan pertimbangan hukum PN dan PT yang menyatakan bahwa Terdakwa I memenuhi unsur ‘menyalahgunakan kewenangan…dst’ Pasal 1 ayat (1) sub b karena melanggar asas-asas kepatutan.

 

Dalam ilmu hukum pidana memang menjadi perdebatan apakah melawan hukum materil yang bersifat positif dapat diterapkan atau tidak. akan tetapi perdebatan tersebut sebenarnya hanya berlaku bagi hukum pidana umum, sementara itu khusus untuk tindak pidana Korupsi bahkan Penjelasan Umum UU tersebut secara eksplisit telah menyatakan bahwa ‘melawan hukum’ yang dimaksud tidak hanya melawan hukum yang bersifat formil akan tetapi juga yang bersifat materil, atau dengan kata lain UU No. 3 Tahun 1971 menganut doktrin mengenai perbuatan melawan hukum materil yang bersifat positif. Atas dasar tersebut maka sungguh janggal jika MA tidak menerapkan asas-asas kepatutan seperti yang diterapkan oleh PN dan PT dalam perkara ini.

 

Kejanggalan tersebut menjadi terlihat jelas lagi apabila dikaitkan dengan pertimbangan MA hal. 212-213 yang menyatakan bahwa terhadap Terdakwa II dan III memenuhi unsur ‘melawan hukum’, yang berbunyi:

 

1.        Bahwa unsur ‘melawan hukum’ menurut pasal 1 ayat 1a UU No. 3/71 tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharmonisan pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya.

 

2.        bahwa unsur melawan hukum pada Terdakwa II dan III adalah dalam bentuk perbuatannya yang bertentangan dengan keharmonisan pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya…dst.

 

Di sini terlihat ambiguitas MA dalam menerapkan hukum, di satu sisi terhadap Terdakwa I MA menolak menerapkan doktrin perbuatan hukum secara materil yang bersifat positif akan tetapi terhadap Terdakwa II dan III MA menerapkannya.

 

Analisa atas penggabungan pertimbangan Keadaan Daruat dan Ketiadaan Aturan yang Dilanggar

 

Selain kejanggalan-kejanggalan dari masing-masing pertimbangan MA tersebut seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pertimbangan MA yang mengatakan bahwa Terdakwa I tidak menyalahgunakan kewenangan dengan alasan dilakukan dalam keadaan darurat bersamaan dengan alasanTerdakwa I tidak terbukti menyalahgunakan kewenangannya karena tidak ada aturan yang dilanggar merupakan pertimbangan yang kontradiktif.

 

Dengan menyatakan bahwa Terdakwa I dibebaskan karena noodtoestand  berarti MA mengakui bahwa terdapat penyalahgunaan wewenang, hanya saja perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut dibenarkan (rechtvaardigingsgrond) atau penyalahgunaan wewenang tersebut dimaafkan (schulduitsluitingsgrond), akan tetapi dengan menyatakan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan tidak terbukti karena tidak ada aturan yang dilanggar maka dalam perkara ini tidak terdapat penyalahgunaan wewenang. Jadi bagaimana mungkin dalam suatu perkara dinyatakan bahwa ada penyalahgunaan kewenangan sekaligus tidak ada penyalahgunaan kewenangan?

 

 

Pertimbangan II – Kesengajaan (hal. 208)

 

Dalam pertimbangan Majelis Kasasi hal. 208 dikatakan bahwa

Menimbang bahwa MA tidak sependapat dengan pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur ‘menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan’ itu disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu dengan baik, sehingga perbuatan materil Terdakwa I menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang negara padahal Terdakwa I memiliki wewenang untuk itu. Menurut pendapat MA haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah Terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi tetap dilakukannya. (Bandingkan pendapat Prof. J. Remmelink, dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 152 dst.)

 

Apabila pertimbangan Judex Factie yang dikutip oleh MA tersebut diuraikan maka akan terlihat unsur-unsur pokok dari pertimbangan Judex Factie tersebut, yaitu:

  1. bahwa Terdakwa I tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi kerja yang terpadu dengan baik;
  2. bahwa ketidakberbuatan tersebut di atas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang negara;
  3. bahwa Terdakwa I memiliki wewenang untuk berlaku patut, teliti dan hati-hati dalam mengelola uang negara;
  4. bahwa perbuatan yang bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian merupakan bentuk dari perbuatan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

 

Ketidaksependapat MA tersebut terhadap pertimbangan hukum Judex Factie tidak jelas ditujukan kepada unsur yang mana, apakah unsur yang (a), (b), (c) atau (d). Akan tetapi jika ketidaksepakatan tersebut dikaitkan dengan kalimat selanjutnya dimana MA mengatakan bahwa ‘…harus dibuktikan terlebih dahulu apakah Terdakwa I memilki kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan tersebut…’ maka maka dapat difatsirkan bahwa  MA mau mengatakan bahwa benar terjadi penyalahgunaan wewenang akan tetapi penyalahgunaan wewenang tersebut tidak serta merta dapat dipidana jika tidak terdapat unsur kesengajaan.

 

Dalah ilmu hukum pidana memang terdapat suatu asas yang mengatakan bahwa tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld/ actus non facit reum nisi mens sit rea/ an act does not constitute itself guilt unless the mind is guilty). Suatu perbuatan walaupun memenuhi semua unsur yang didakwakan akan tetapi jika tidak terdapat unsur kesalahan dari jiwa pelaku maka terhadap pelaku tersebut tidak dapat dikenakan pemidanaan. Penghapusan pidana tersebut dapat berupa pembenaran atau pemaafan (dasar pembenar dan dasar pemaaf),  dan hal tersebut tergantung bagaimana hukum positif mengatur hal tersebut serta bagaimana kasusnya. Sementara itu Pompe membagi kesalahan menjadi beberapa unsur, yaitu:[7]

 

1.       kelakuan yang bersifat melawan hukum

2.       kesengajaan (dolus/culpa)

3.       kemampuan bertanggung jawab pelaku

 

 

Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah tepat menempatkan sifat kesengajaan (opzet) sebagai salah satu unsur yang harus dibuktikan dalam unsur ‘menyalahgunakan wewenang …dst’? Dalam ilmu hukum pidana memang sifat kesengajaan merupakan salah satu komponen penting yang harus dibuktikan, dan merupakan salah satu masalah pelik, khususnya mengenai apakah sifat kesengajaan harus dibuktikan pada setiap unsur atau tidak. Akan tetapi permasalahan tersebut umumnya muncul jika dalam rumusan pasal yang dimaksud sifat kesengajaan tidak terumuskan dalam salah satu unsur secara eksplisit, seperti misalnya pada pasal 212 KUHP.[8] Jika sifat kesengajaan telah terumuskan dalam suatu unsur secara jelas maka sangatlah berlebihan jika pada setiap unsur harus dibuktikan juga sifat kesengajaannya, karena hal tersebut akan mempersulit hakim itu sendiri. Kini pertanyaan selanjutnya adalah apakah dalam Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 tidak secara tegas merumuskan unsur kesengajaan sehingga MA merasa harus menafsirkan bahwa unsur kesengajaan terdapat dalam unsur ‘menyalahgunakan wewenang…dst.’? 

 

Pasal 1 ayat (1) sub b berbunyi:

barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

 

Dari bunyi pasal tersebut maka terlihat dengan jelas bahwa unsur kesengajaan (opzet) sebagai suatu unsur yang harus dibuktikan terdapat dalam unsur ‘…dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain …dst.’ bukan pada unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dst.’. sehingga dengan demikian terlihat bahwa MA telah salah dalam menerapkan hukum.

 

Akan tetapi jika seandainya pun kita sepakat dengan pendapat MA yang menyatakan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) sub b unsur kesengajaan terdapat dalam unsur ‘menyalahgunakan wewenang…dst.’ maka kita akan menemukan kejanggalan-kejanggalan lainnya. Kejanggalan pertama adalah MA tidak secara tegas mengatakan apakah unsur kesengajaan tersebut pada diri Terdakwa I terbukti atau tidak.

 

Kejanggalan kedua, dalam bagian tersebut MA merujuk pada pendapat Prof. J Remmelink mengenai teori Kesengajaan. Mengutip kata-kata MA hal. 208 alinea II:

 

…haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam Hukum Pidana, apakah Terdakwa I memang mempunyai kesengajaan (opzet) untuk melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens) bahwa perbuatan itu dilarang, tapi tetap dilakukannya. (Bandingkan pendapat Prof. J. Remmelink, dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 152 dst.) (pertimbangan MA hal. 208 alinea II)

 

dari pernyataan di atas kejanggalan yang dimaksud yaitu seakan MA menyatakan bahwa terdapat 3 unsur yang harus dibuktikan, bukan hanya unsur kesengajaan akan tetapi unsur menghendaki dan mengetahui. Prof. Remmelink sendiri dalam buku yang dikutip MA pada hal. 152 menyatakan:[9]

‘…dalam Dolus sebab itu terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan) (volunte et connaissance), tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui).’

 

Dari pendapat Prof. Remmelink tersebut maka tidak tepat jika MA mengatakan bahwa yang harus dibuktikan adalah unsur kesengajaan, kehendak dan pengetahuan, oleh karena willens dan wetens bukanlah suatu unsur yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan unsur dari unsur kesengajaan itu sendiri. Jadi dengan membuktikan unsur willens dan (atau) wetens maka secara otomatis unsur kesengajaan menjadi terbukti. Pendapat MA di atas dengan demikian merancukan ilmu hukum pidana.  

 

Sebenarnya dalam ilmu hukum pidana tidak semua doktrin menyatakan bahwa unsur dari kesengajaan adalah willens dan wetens, Simons misalnya, ia berpendapat bahwa unsur dari kesengajaan hanyalah kehendak saja (de will/ willens)[10]. Ajaran Simons tersebut disebut dengan istilah Teori Kehendak (wilstheorie). Sementara banyak ahli hukum lain yang berpendapat bahwa unsur kesengajaan sudah dapat terbukti jika pelaku sudah dapat memperkirakan atau mengharapkan akibat dari perbuatannya saja, atau yang dikenal dengan istilah Teori Perkiraan (voorstelingstheorie).

 

Dalam prakteknya tidak mudah untuk membuktikan unsur kesengajaan semata-mata hanya mendasarkan diri pada teori kehendak maupun teori perkiraan semata, atau dengan kata lain hanya mendasarkan diri pada willens dan/atau wetens. Dalam ilmu hukum pidana lebih jauh lagi unsur kesengajaan dibagi menjadi beberapa kriteria berdasarkan gradasinya. Baik menurut R Sianturi[11] maupun Prof. J Remmelink[12]  dikatakan bahwa kesengajaan terbagi menjadi beberapa gradasi, yaitu:

1.       kesengajaan sebagai maksud (oogmerk) atau kesadaran akan keniscayaan akibat,

2.       kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij zekerheids of noodzakelijkheids bewustzjin) atau dolus dengan kesadaran akan besarnya kemungkinan, dan

3.       kesengajaan dengan menyadari kemungkinan atau kesengajaan bersyarat (dolus eventualis).

 

Dalam suatu pasal pidana memang terdapat beberapa rumusan unsur kesengajaan yang tidak serta merta dapat ditafsirkan secara luas dapat meliputi seluruh gradasi kesengajaan tersebut, jika suatu rumusan unsur telah jelas maksudnya maka tidak boleh ditafsirkan lebih dari itu (het hoofdbeginsel moet zijn, dat de wet uit zich zelf moet worden verklard) Sebagai misal rumusan ‘dengan tujuan yang nyata’ seperti yang terdapat dalam pasal 310 KUHP, rumusan tersebut tentunya hanya memenuhi gradasi kesengajaan yang pertama, atau opzet als oogmerk dan tidak bisa ditafsirkan juga dapat meliputi dolus eventualis.

 

Jika kita sepakat dengan dengan pendapat MA yang mengatakan bahwa unsur kesengajaan juga terletak pada unsur ‘menyalahgunakan wewenang…dst.’ Pasal 1 ayat 1(b) maka terlihat bahwa dalam pasal tersebut tidak terdapat suatu rumusan kesengajaan (dolus) yang dituliskan secara tegas yang dapat menunjukan apakah kesengajaan tersebut harus ditafsirkan secara terbatas atau tidak. Dalam rumusan kesengajaan yang tidak tegas tersebut maka berlaku teori mengenai gradasi kesengajaan, yang berarti bahwa kesengajaan tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai maksud, akan tetapi dapat juga sebagai kesadaran pasti dan dolus eventualis.

 

Kemudian dengan demikian persoalannya menjadi apakah ketidakberbuatan Terdakwa I melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi kerja yang tidak terpadu dengan baik memenuhi unsur kesengajaan atau tidak. Jika kesengajaan ditafsirkan sebagai dolus als ogmerk maka tentunya hal tersebut tidak serta merta, begitu juga jika kesengajaan ditafsirkan sebagai kesadaran pasti. Akan tetapi jika kesengajaan ditafsirkan sebagai dolus eventualis maka persoalan menjadi berbeda karena seharusnya dengan jumlah uang yang sedemikian besar (Rp. 40 milyar) pada masa di mana korupsi merupakan hal yang jamak terjadi, seharusnya Terdakwa sudah dapat menduga bahwa dengan tidak adanya pengawasan yang cukup, tidak adanya bukti-bukti tertulis maka penyimpangan atau penyalahgunaan akan sangat mungkin terjadi atau dilakukan oleh Terdakwa II. Oleh karenanya maka seharusnya tindakan Terdakwa I sudah dapat dikategorikan memenuhi unsur kesengajaan dengan kategori kesengajaan sebagai dolus eventualis, sehingga seharusnya unsur ‘menyalahgunakan wewenang…dst. ‘ tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan.

 

Hal di atas menjadi lain jika MA mengatakan bahwa sifat kesengajaan tidak terbukti jika yang dimaksud oleh MA adalah kesengajaan dalam unsur pasal ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri…dst.’ Karena jika hal ini yang dipermasalahkan maka memang benar bahwa kesengajaan harus ditafsirkan secara limitatif sebagai dolus als oogmerk, tidak bisa diterapkan dolus eventualis.

 

 

Dakwaan Subsidair

Pertimbangan III – Pembuktian Unsur Secara Melawan Hukum

 

Mengenai Dakwaan Subsidari terhadap Terdakwa I MA hanya terdapat 1 (satu) pertimbangan pokok, pada hal. 209-210 mulai alinea ke-3 dikatakan:

 

Menimbang bahwa dalam penjelasan UU No. 3 Tahun 1971 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana;

 

Menimbang bahwa sehubungan dengan pembuktian unsur ‘melawan hukum’ tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa oleh karena perbuatan ‘menyalahgunakan wewenang..dst.’ merupakan salah satu bentuk atau wujud perbuatan melawan hukum, baik formil maupun materil, maka dengan tidak terbuktinya unsur ‘menyalahgunakan wewenang ..dst’ hal tersebut berarti bahwa unsur ‘melawan hukum’ sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Subsidair tidak terpenuhi dalam perbuatan Terdakwa I;

 

Menimbang bahwa pendapat Mahkamah Agung tersebut sesuai pula dengan pendapat saksi ahli Prof. Dr. ANDI HAMZAH, SH yang berpendapat ‘Bahwa terhadap kasus ini apabila uang dari BULOG tersebut baru sampai ketangan Terdakwa I maka belum ada tindak pidana dan baru ada tindak pidana setelah uang tersebut ada pada terdakwa lainnya, yang ternyata tidak dipergunakan sebagaimana mestinya’, dan pendapat saksi ahli Prof. Dr. LOEBBY LOQMAN, SH yang pihaknya berpendapat : ‘Bahwa ajaran melawan hukum materil negatif (sic! -pen) ada batasannya, yaitu harus dicari aturan formilnya dan orang tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang dilanggar.[13]

 

Atas pertimbangan tersebut terdapat suatu kontradiksi yang sangat mencolok, dengan mengutip Penjelasan UU No. 3 Tahun 1971 MA ingin menyatakan bahwa tanpa suatu aturan formil pun maka suatu perbuatan tetap dapat memenuhi unsur ‘melawan hukum’ jika perbuatan tersebut melanggar norma masyarakat atau mengakui doktrin perbuatan hukum materil yang bersifat positif, akan tetapi kemudian MA juga menyatakan dengan mengambil pendapat Prof. Loebby Loqman SH yang mengatakan bahwa ‘melawan hukum’ harus ditafsirkan hanya melawan hukum formal semata, atau dengan kata lain menolak doktrin perbuatan hukum materil yang bersifat positif. Bagaimana mungkin kedua pendapat yang saling kontradiksi tersebut dikatakan sebagai pendapat yang berkesesuaian seperti yang diklaim oleh MA?

 

Masalah selanjutnya adalah mengenai pembuktian unsur ‘melawan hukum’ yang menurut MA tidak terbukti. Di situ MA mengatakan bahwa unsur ‘melawan hukum’ tidak terbukti karena dalam dakwaan primer MA menyatakan unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dll’ tidak terbukti, dan karena unsur ‘menyalahgunakan kewenangan..dst’ merupakan salah satu bentuk unsur melawan hukum maka dengan demikian unsur melawan hukum dalam dakwaan subsidair berarti juga tidak terbukti. Yang menjadi masalah adalah seperti terlihat dalam analisa penulis sebelumnya di atas, pendapat MA mengenai pembuktian unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dst’ sangatlah tidak jelas dan tidak konsisten. Jika alasan MA mengenai pembuktian unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dst’ adalah yang berkaitan dengan keadaan darurat / noodtoestand, maka seharusnya unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dst’ tersebut terbukti, hanya berdasarkan pasal 48 KUHP terhadap Terdakwa I tidak dapat dipidana, sehingga atas dakwaan Subsidair dengan demikian MA seharusnya menyatakan bahwa unsur ‘secara melawan hukum’ juga terbukti dengan sah, dan seperti pada dakwaan primair, terhadap Terdakwa I dapat dihapuskan pemidanaannya berdasarkan pasal 48 KUHP. [14]

 

Jika alasan MA mengenai pembuktian unsur ‘menyalahgunakan kewenangan…dst’ yang dipergunakan adalah alasan karena tidak adanya aturan maka alasan MA mengenai pembuktian unsur ‘secara melawan hukum’ mungkin dapat dibenarkan, akan tetapi berdasarkan analisa sebelumnya dimana MA dalam membuktikan unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dst’ tersebut hanya mempertimbangan aturan formil semata serta terdapat inkonsistensi penerapan doktrin perbuatan melawan hukum materil yang bersifat positif, maka alasan MA dalam dakwaan subsidair ini dirasa sangat tidak masuk akal.

 

Pertimbangan MA mengenai tidak terbuktinya unsur ‘melawan hukum’ dalam dakwaan subsidair ini akan terasa lebih janggal lagi jika alasan yang dipergunakan adalah karena tidak terbuktinya sifat kesengajaan (opzet) dalam unsur ‘menyalahgunakan kewenangan..dst’. Seperti telah kami jelaskan sebelumnya, selain MA tidak tegas menyatakan apakah sifat kesengajaan tersebut terbukti atau tidak, pembuktian sifat kesengajaan seperti telah penulis jelaskan sebelumnya seharusnya lebih tepat dipergunakan untuk unsur ‘dengan tujuan menguntungkan diri sendiri…dst’ bukan pada unsur ‘menyalahgunakan kewenangan…dst’.

 

Pada titik ini kita bisa melihat bahwa inkonsistensi MA dalam pembuktian unsur ‘menyalahgunakan kewenangan…dst’ dalam dakwaan primair ternyata mempunyai dampak yang luar biasa dalam pembuktian unsur ‘secara melawan hukum’ dalam dakwaan subsidair.

 

Selain itu yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah jika MA sendiri mengatakan bahwa ‘menyalahgunakan kewenangan …dst’ merupakan salah satu bentuk dari unsur ‘secara melawan hukum’ yang dengan demikian berarti masih ada bentuk-bentuk tindakan yang ‘melawan hukum’ lainnya, mengapa tiba-tiba MA mengatakan bahwa karena unsur menyalahgunakan kewenangan tersebut tidak terbukti maka unsur ‘melawan hukum’ dalam Pasal 1 ayat (1) sub a juga tidak terbukti? Bukankah seharusnya dibuktikan terlebih dahulu apakah Terdakwa memang benar tidak melawan hukum dalam bentuk lainnya, melawan hukum dalam arti materil misalnya seperti yang diputus terhadap Terdakwa II dan III?[15]

 

Pertimbangan IV – Perintah Jabatan (hal. 210)

 

Setelah beberapa pertimbangan di atas MA kemudian menambahkan satu pertimbangan hukum lagi yang membebaskan Terdakwa I yang intinya adalah Terdakwa I tidak terbukti bersalah oleh karena ia hanya menjalankan perintah jabatan. Untuk lebih jelasnya akan dikutip kata-kata MA sendiri yang terdapat dalam hal. 210 putusan Kasasi ini:

 

Menimbang hawa selain berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas adalah tidak berlebihan apabila dikemukakan, bahwa menurut Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 51 ayat 1 KUHP, Terdakwa I tidak dapat dipidana berdasarkan perbuat yang telah dilakukannya tersebut, oleh karena perbuatan a quo telah dilakukan terdakwa I selaku MENSESNEG untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berwenang, dalam hal ini adalah Presiden R.I. (cq. Saksi B.J. HABIBIE). Suatu perintah jabatan (ambelijk bevel) dalam pengertian Undang-Undang tersebut diisyaratkan harus diberikan berdasarkan suatu jabatan kepada orang-orang bawahan, dalam hubungan kerja yang bersifat ukum publik atau bersifat ‘publiek rechtelijk’. (Pendapat Prof. POMPE dan prof. VAN HAMEL yang dimuat dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia karangan Drs. P.A.F. LAMINANTANG, SH, alaman 526, terbitan PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1977). Dengan kriteria doktrin tersebut perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa I dapat diklasifikasikan sebagai menjalankan perintah jabatan. Sebab perintah Presiden RI tersebut diberikan kepada Terdakwa I selaku pembantu Presiden dan hubungan kerja antara Presiden dan Terdakwa I itu bersifat hukum publik. Bahkan perintah jabatan itu tidak selalu mesti tertulis, karena ada juga yang tidak tertulis. Bilamana perintah tersebut dilaksanakan dan sekaligus tindak pidana terjadi maka sifat dapat dipidana tindakan tersebut akan hilang karena di dalam tindakan tersebut tidak terkandung unsur melawan hukum. (Pendapat Prof. J. Remmelink, dalam buku terjemahan Hukum Pidana, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, halaman 253). Pengertian ‘perintah jabatan’ juga meliputi ‘instruksi jabatan’ seperti yang dimaksud oleh pasal 51 KUHP, demikian pendapat Prof. Pompe yang diperkuat oleh Prof. Van Hamel, dan diikuti pula oleh Mahkamah Agung dalam kasus ini;

 

Untuk dapat menilai apakah pertimbangan MA tersebut layak atau tidak maka yang perlu diketahui adalah mengenai Pasal 51 ayat (1) KUHP tersebut, serta apakah bagaimana doktrin-doktrin hukum pidana membatasinya.

 

Pasal 51 KUHP berbunyi:

(1)        Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum;

(2)        Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi.

 

Sementara itu mengenai penggunaan pasal 51 KUHP sebagai dasar pembenar/ penghapus pidana para Ahli Hukum Pidana mengatakan bahwa tidak serta merta perintah jabatan yang sah sekalipun menghapuskan pidana, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini:

 

dalam pelaksanaan perintah-jabatan,  seperti halnya yang diutarakan pada ketentuan undang-undang, maka alat dan cara pelaksanaan itu harus seimbang, patut dan layak.[16]

 

Hazewinkel-Suringga dalam buku Utrecht (Hukum Pidana I) berpendapat bahwa tidak tiap perintah jabatan membenarkan perbuatan yang dilakukan. Sampai dimana perintah jabatan itu dapat membenarkan perbuatan yang dilakukan bergantunglah pada cara perintah jabatan itu dilakukan atau bergantunglah pada alat-alat yang dipakai untuk melakukan perintah jabatan tersebut.[17]

 

Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam melaksanakan perintah Presiden BJ Habibie, Terdakwa I telah menggunakan alat dan cara yang seimbang patut dan layak? MA dalam pertimbangannya ternyata telah mengabaikan hal ini. Mengenai hal ini sebenarnya Judex Factie telah mempertimbangkan dengan cukup dengan mengatakan bahwa Terdakwa I tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme koordinasi yang terpadu dengan baik, sehingga dengan demikian penulis berpendapat bahwa pasal 51 ayat (1) KUHP tidak dapat diterapkan terhadap Terdakwa I. Sementara itu atas pertimbangan Judex Factie tersebut MA juga tidak jelas apakah menerima atau menolak pertimbangan tersebut.[18]

 

Selain pertimbangan di atas, sebenarnya 51 ayat (1) KUHP baru dapat diterapkan jika atas suatu perbuatan memang terjadi tindak pidana, atau telah terbukti memenuhi semua unsur yang didakwakan, hanya saja perbuatan tersebut menurut hukum dihilangkan pertanggungjawaban pidananya. Hal ini sebenarnya juga dikatakan oleh MA sendiri dalam pertimbangannya dengan mengatakan ‘Bilamana perintah tersebut dilaksanakan dan sekaligus tindak pidana terjadi maka sifat dapat dipidana tindakan tersebut akan hilang karena di dalam tindakan tersebut tidak terkandung unsur melawan hukum.’ Berdasarkan hal tersebut maka jika ada suatu perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana tentunya tidak dapat diterapkan pasal 51 KUHP bahkan pasal 44 sampai 51 KUHP, dengan logika untuk apa dikenakan lagi alasan pembenar atau pemaaf atas suatu perbuatan kalau memang perbuatan tersebut dengan sendirinya memang sudah benar?

 

Kejanggalan atas penerapan pasal ini dalam pertimbangan hukum MA terlihat jika dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum sebelumnya, baik dalam dakwaan primer maupun subsidair. Dalam dakwaan primair salah satu pertimbanganya MA mengatakan bahwa unsur ‘menyalahgunakan wewenang…dst’ tidak terbukti, yang dengan demikian berarti perbuatan Terdakwa I bukan merupakan tindak pidana. Begitu juga dalam dakwaan subsidair yang mana MA mengatakan bahwa unsur ‘secara melawan hukum’ tidak terbukti. Bagaimana mungkin pasal 51 KUHP tersebut diterapkan untuk suatu tindakan yang mana tindakan tersebut bukan merupakan tindak pidana?

 

Atas dasar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum MA dalam dakwaan primair adalah pertimbangan hukum yang salah, atau setidaknya melanggar prinsip-prinsip ilmu hukum pidana.

 

 

Atas Terdakwa II dan III

 

Dakwaan Primair

 

Dalam dakwaan primairnya MA menyatakan bahwa Terdakwa II dan III tidak terbukti karena alasan bahwa Terdakwa I sebagai doenpleger-nya tidak terbukti. Mengenai alasan ini penulis telah membuat analisa pada bagian sebelumnya, yaitu pada bagian Analisa atas Pokok Pikiran Pertama / Keadaan Darurat.

 

Dakwaan Subsidair

 

Pertimbangan V – Unsur ‘Barangsiapa”

Mengenai pembuktian unsur ‘barang siapa’ tersebut MA mengatakan:

 

Menimbang, bahwa menilai unsur ‘barangsiapa’ dari pasal 1 ayat 1a UU 3/1971 MA berpedoman pada putusannya tanggal 18 Desember 1984 No. 892/k/Pid/1983 yang berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘barangsiapa’ dalam tindak pidana korupsi bukan hanya orang seperti Pegawai Negeri tetapi mencakup juga Pegawai Swasta, Pengusaha, bahkan juga Badan Hukum sehingga in casu Terdakwa II dan III sebagai Pengusaha menurut pendapat MA memenuhi unsur ‘barangsiapa’ dari pasal 1 ayat 1a UU 3/71.

 

Dari argumentasi/pertimbangan hukum tersebut terlihat pada awalnya Majelis Hakim Agung yang dipimpin oleh Paulus Lotulung menganggap bahwa unsur ‘barangsiapa’ yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1a UU No. 3 Tahun 1971 hanya diperuntukkan untuk Pegawai Negeri semata. Hal tersebut terasa sangat janggal dilakukan oleh Hakim Agung yang notabenenya adalah pihak yang pengetahuan serta pemahaman hukumnya seharusnya tidak perlu dipertanyakan lagi, karena mengenai unsur ‘barangsiapa’ UU tersebut sebenarnya tidak ada satu ketentuan pun yang menyatakan bahwa hanya berlaku bagi Pegawai Negeri sehingga sejak awal Majelis Hakim seharusnya telah menyadari bahwa makna ‘barangsiapa’ dalam Pasal 1 ayat 1a tidak hanya ditujukan bagi Pegawai Negeri semata akan tetapi berlaku secara umum, dan ‘perluasan makna’ ‘barangsiapa’ tersebut dapat dikatakan sangat berlebihan. Satu-satunya pasal yang menyatakan secara tegas Pegawai Negeri terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 d, akan tetapi hal tersebut juga sebenarnya dalam UU itu sendiri telah diperluas pengertian dari Pegawai Negeri, yaitu dalam Pasal 2 yang mengatakan

 

Pegawai negeri yang dimaksud oleh UU ini meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat;

 

Hal tersebut diatas memperkuat dugaan bahwa Majelis Hakim Agung tidak atau setidaknya kurang memahami hukum setidaknya UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.

 

Pertimbangan VI – Unsur Melawan Hukum

Mengenai pembuktian unsur melawan hukum terhadap Terdakwa II dan III dalam dakwaan subsidair, MA mengatakan:(hal. 212-213)

 

Menimbang bahwa mengenai unsur ‘melawan hukum’ dari Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 Tahun 1971, dalam hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa II dan III dalam dakwaan Subsidair perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1.        Bahwa pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharmonisan pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya, maupun haknya;

2.        Bahwa unsur melawan hukum dalam perbuatan Terdakwa II dan III adalah dalam bentuk perbuatan yang bertentangan dengan keharmonisan pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya, yang dalam hal ini terbukti dari fakta-fakta sebagai berikut:

2.1.      Bahwa uang sebesar Rp. 40 milyar ada dalam penguasaan Terdakwa II dan Terdakwa III berdasarkan penyerahan dari Terdakwa I. Bahwa uang sebesar Rp. 40 milyar tersebut berasal dari dan diserahkan oleh Terdakwa I kepada Terdakwa II yang kemudian oleh terdakwa Ii diserahkan kepada Terdakwa III dengan tujuan untuk pengadaan penyaluran sembako bagi masyarakat miskin;

2.2.      Bahwa ternyata uang tersebut oleh terdakwa Ii dan Terdakwa III tidak digunakan seluruhnya sesuai dengan tujuan penggunaan uang tersebut sebagaimana yang diamanhkan oleh Terdakwa I,yaitu untuk pengadaan dan penyaluran sembako kepada masyarakat miskin, dan uang tersebut baru dikembalikan setelah penyidikan dilakukan dan uang tersebut telah berada ditangan terdakwa II dan Terdakwa III lebih dari 2 tahun.

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat unsur ‘melawan hukum; dari tindak pidana dalam Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3/1971 telah dipenuhi oleh perbuatan Terdakwa II dan Terdakwa III.

 

 

Dari pertimbangan tersebut terdapat inkonsistensi dari pendapat MA sebelumnya di halaman 209-210 di mana MA sendiri mengatakan bahwa MA sependapat dengan pendapat Prof. Loebby Loqman yang mengatakan bahwa orang tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang dilanggar.[19] Dengan dinyatakannya Terdakwa II dan III memenuhi unsur ‘melawan hukum’ dengan alasan tersebut di atas maka dengan demikian pertimbangan MA yang menyatakan bahwa Judex Factie telah salah menerapkan hukum seharusnya ditolak, atau dengan kata lain MA telah menjilat ludahnya sendiri.

 

Kejanggalan lainnya adalah MA seakan-akan tidak mempertimbangkan alasan-alasan mengenai kegagalan Terdakwa II dan III, apakah kegagalan tersebut mengandung unsur kesengajaan atau tidak[20], seakan-akan MA mau mengatakan bahwa sengaja atau tidak sengaja selama tujuan program dimaksud tidak berhasil maka dianggap telah melawan hukum. Jika demikian halnya maka seharusnya Terdakwa I juga harus dianggap memenuhi unsur melawan hukum, karena Terdakwa I merupakan pejabat yang diperintahkan oleh Presiden BJ Habibie untuk menjalankan program dimaksud. MA seakan-akan (sengaja) melupakan hal tersebut. Sehingga jika Presiden BJ Habibie sebagai pejabat yang memberi perintah tersebut dimasukkan dalam pertimbangan MA di atas maka logikanya akan seperti ini:

 

Menimbang bahwa mengenai unsur ‘melawan hukum’ dari Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 Tahun 1971, dalam hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III dalam dakwaan Subsidair perlu dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

3.       Bahwa pengertian melawan hukum menurut Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharmonisan pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya, maupun haknya;

4.       Bahwa unsur melawan hukum dalam perbuatan Terdakwa I, II dan III adalah dalam bentuk perbuatan yang bertentangan dengan keharmonisan pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barangnya maupun haknya, yang dalam hal ini terbukti dari fakta-fakta sebagai berikut:

4.1.     Bahwa uang sebesar Rp. 40 milyar ada dalam penguasaan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III berdasarkan penyerahan dari Presiden BJ Habibie. Bahwa uang sebesar Rp. 40 milyar tersebut berasal dari dan diserahkan oleh Presiden BJ Habibie kepada Terdakwa I yang kemudian diserahkan kepada Terdakwa II dan Terdakwa II menyerahkan kepada Terdakwa III dengan tujuan untuk pengadaan penyaluran sembako bagi masyarakat miskin;

4.2.     Bahwa ternyata uang tersebut oleh Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III tidak digunakan seluruhnya sesuai dengan tujuan penggunaan uang tersebut sebagaimana yang diamanhkan oleh Presiden BJ Habibie,yaitu untuk pengadaan dan penyaluran sembako kepada masyarakat miskin, dan uang tersebut baru dikembalikan setelah penyidikan dilakukan dan uang tersebut telah berada ditangan Terdakwa II dan Terdakwa III lebih dari 2 tahun.

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, MA berpendapat unsur ‘melawan hukum; dari tindak pidana dalam Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3/1971 telah dipenuhi oleh perbuatan Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa III.

 

Dengan tidak digunakannya logika di atas oleh MA maka hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi motivasi dari MA tidak mau melibatkan Terdakwa I dalam putusannya?

 

Pertimbangan VII – Unsur ‘Melakukan Perbuatan Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain…dst’

 

Di halaman 213 alinea terakhir MA mengatakan:

 

Menimbang bahwa unsur ‘melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dst’ menurut MA telah dipenuhi oleh perbuatan Terdakwa II dan III karena dalam persidangan PN telah terbukti bahwa selama lebih dari 2 tahun dana non budgeter Rp. 40 M tersebut berada dalam kekuasaan Terdakwa III yang seolah-olah sebagai pemiliknya, dan tidak digunakan untuk tujuan penggunaan dana tersebut yaitu pengadaan dan penyaluran sembako bagi masyarakat miskin, dan MA berpendapat bahwa selama penguasaan dana tersebut Terdakwa II dan III atau yayasannya menjadi bertambah kekayaannya.

 

Di sini perlu di ingat kembali bahwa MA dalam memutus permohonan Kasasi ini tidak melakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti kembali (judex factie) walaupun hal tersebut dimungkinkan oleh UU. Dengan tidak melakukan hal tersebut maka berarti MA telah mengakui fakta-fakta yang terdapat dalam PN dan PT sebagai fakta-fakta hukum yang diakui. Perlu juga diingat bahwa dalam putusan Judex Factie, baik PN dan PT tidak membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaan Subsidair, dan dalam dakwaan Primair para Terdakwa II dan III dianggap bersalah bukan karena memenuhi seluruh unsur pidana yang didakwakan, akan tetapi karena keduanya merupakan terdakwa Turut Serta (Medeplenger).

 

Dari fakta-fakta yang terungkap dalam Judex Factie dikatakan bahwa Terdakwa II menyerahkan semua uang a quo kepada Terdakwa III, dan dikatakan juga bahwa yang menyimpan seluruh sisa uang a quo tersebut juga adalah Terdakwa III. Selain itu telah menjadi fakta hukum juga bahwa Terdakwa III bukanlah pengurus atau anggota dari Yayasan Raudhatul Jannah, akan tetapi hanya merupakan rekanan, karena Terdakwa III adalah Direktur PT Bintang Laut Timur. Dari fakta-fakta tersebut maka hal tersebut berarti yang diduga mendapatkan keuntungan/kekayaan adalah Terdakwa III atau setidaknya PT Bintang Laut Timur bukan Terdakwa II atau Yayasan Raudhatul Jannah.

 

Jika fakta-fakta hukum tersebut dikaitkan dengan pertimbangan MA di atas maka terlihat kejanggalan yang sangat mendasar, karena tiba-tiba MA mengatakan bahwa Terdakwa II dan III atau Yayasannya menjadi bertambah kekayaannya. Yang menjadi pertanyaan adalah atas bukti apa MA dapat menyatakan bahwa Terdakwa II atau Yayasan Raudhatul Jannah mendapatkan kekayaan dari harta negara?

 

Seharusnya terhadap Terdakwa II unsur yang mungkin dipenuhi adalah unsur ‘memperkaya orang lain’ bukan ‘memperkaya diri sendiri’. Akan tetapi hal ini pun harus dibuktikan bahwa apakah benar tindakan Terdakwa II memperkaya Terdakwa III dilakukan secara melawan hukum atau tidak. Perlu diingat bahwa hubungan hukum antara Terdakwa II dan Terdakwa III merupakan hubungan hukum perdata, lebih jelasnya adalah hubungan perjanjian untuk melakukan suatu prestasi. Dalam logika hukum perdata maka jika terjadi suatu wan prestasi maka perlu di buktikan terlebih dahulu apakah wan prestasi tersebut disebabkan oleh Kreditur atau oleh Debitur. Jika wan prestasi merupakan kesalahan dari Debitur maka dengan demikian Kreditur dibebaskan dari tanggung jawabnya, bahkan berarti ia merupakan pihak yang dirugikan. 

 

Yang menjadi pertanyaan adalah dimana pertimbangan MA yang membuktikan bahwa Terdakwa II melakukan perbuatan memperkaya Terdakwa II secara melawan hukum? Dengan tidak adanya pembuktian akan hal ini maka berarti MA telah  memutus secara sewenang-wenang, atau setidaknya telah mengadili dengan cara yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang.

 

 

Kejanggalan-kejanggalan Lainnya

 

Permasalahan dalam pembuktian, hal.141-146

 

Keberatan Terhadap Perumusan Fakta-Fakta di Persidangan

Dalam keberatannya yang terdapat Memori Kasasi Terdakwa II dan III mengajukan keberatan yaitu yang berkaitan dengan perumusan fakta-fakta di persidangan pada tingkat Pertama dan Banding. Fakta-fakta yang dipermasalahkan oleh kedua Terdakwa tersebut intinya yaitu:

  1. bahwa menurut Terdakwa II dan III perumusan kesaksian Presiden BJ Habibie yang mengatakan bahwa ia menunjuk secara lisan pada Terdakwa I untuk mengkoordinir pelaksanaan penyaluran dengan melibatkan instansi terkait, tidak tepat, karena menurut mereka dalam kesaksian di persidangan saksi tersebut tidak mengatakan ‘…dengan melibatkan instansi terkait.’ (hal. 141-142)
  2. bahwa fakta hukum yang mengatakan bahwa penunjukkan terhadap Terdakwa II oleh Terdakwa I dilakukan pada hari yang sama dengan proses pemaparan proposal (pen.) oleh Terdakwa II dan III, adalah salah, karena menurut Terdakwa II dan III dalam persidangan dikatakan bahwa proses persetujuan tidak pada hari yang sama akan tetapi berselang beberapa hari. (hal. 142)
  3. bahwa fakta hukum yang menyatakan bahwa tidak ada tanda terima sama sekali para proses serah terima cek dari Terdakwa I kepada Terdakwa II, menurut Terdakwa II dan III adalah salah, karena menurut mereka ada tanda terima yaitu berupa kuitansi yang diserahkan kepada Saksi Ahmad Sukandar selaku Deputi Keuangan Bulog. (hal.143)

 

Klaim dari kedua Terdakwa tersebut dalam perkara ini sebenarnya cukup krusial karena jelas tidaknya proses pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah merupakan faktor yang paling menentukan bagi Hakim untuk dapat memutus suatu perkara. Dalam kasus ini dengan dipermasalahkannya perumusan kesaksian yang merupakan dari alat bukti maka hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat ketidakjelasan mengenai alat bukti, dan seharusnya MA memiliki tugas untuk menclearkan masalah tersebut, apakah benar klaim dari para Terdakwa tersebut atau Judex Factie telah tepat dalam merumuskannya. Hal ini dibenarkan oleh KUHAP Pasal 253 ayat (3) dan UU No. 14/1985 tentang MA pasal 50 ayat (1) yang mengatakan:

Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh MA berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu MA mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi.

 

Permasalahan Redaksional

 

Permasalahan lainnya dalam putusan ini terdapat dalam Hal. 144.

Alinea 6 dan 7:

kekeliruan dalam merumuskan fakta-fakta hukum yang dihasilkan dipersidangan kemudian dijadikan pertimbangan oleh hukum judex factie untuk menyatakan terbuktinya terdakwa;

 

fakta-fakta hukum yang timbul selama persidangan sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan judex factie dan diabaikan begitu saja, sedang seharusnya judex factie wajib memberi alasan yang argumentatif mengapa fakta-fakta hukum itu tidak dapat diterima;

 

Jika kita baca alinea-alinea sebelumnya maka kedua alinea tersebut seakan tidak lengkap, atau setidaknya tidak nyambung. Jika kita perhatikan maka terlihat bahwa kedua alinea tersebut diawali oleh huruf kecil bukan huruf kapital. Kemungkinan yang terjadi adalah terjadi kesalahan dalam proses pengetikan di MA atau memang kesalahan terjadi pada pihak Terdakwa II dan III, akan tetapi yang jelas adalah bahwa MA tidak memutus apakah klaim Terdakwa Ii dan III mengenai kesalahan pada pembuktian pada tingkat Judex Factie benar atau salah.

 

Ketidakjelasan antara Fakta dan Pertimbangan Hukum

Pada bagian dibawah ini penulis mencoba melakukan analisa dengan pendekatan non-hukum, akan tetapi dengan pendekatan logika dan bahasa untuk melihat logis tidaknya putusan ini. Metode yang dipergunakan penulis adalah dengan cara mengambil pokok-pokok pikiran dari setiap paragraph yang ada dan merekonstruksinya kembali sesuai dengan urutannya. Bagian yang akan di analisa yaitu pertimbangan hukum MA pada hal 205, yang berbunyi:

 

Menimbang bahwa memperhatikan hal-hal yang terurai diatas MA berpendapat perbuatan Terdakwa I yang telah menunjuk Terdakwa II untuk melaksanakan pengadaan dan penyaluran sembako dengan menyerahkan dana non-budgeter Bulog tersebut bukan merupakan bentuk “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya” …dst.’ Mengingat pertimbangan sebagai berikut:

 

Jika ‘hal-hal terurai diatas’ yang dimaksud oleh alinea tersebut direkonstruksi pokok-pokok pikirannya maka akan didapatkan hasil sebagai berikut:

  1.  
    1. Permasalahan pokok dari perkara ini adalah pelaksanaan Instruksi Presiden mengenai pengadaan sembako bagi masyarakat miskin oleh Terdakwa I. (point 1 hal. 203)
    2. Hal-hal relevan atas permasalahan pokok tersebut: (point 2 hal 203)

                                                               i.      Mensesneg bertugas memberi dukungan staf dan pelayanan administrasi kepada presiden; (point 2.1 hal 203)

                                                              ii.      Diambilnya kebijakan program pengadaan sembako dengan menggunakan dana non-budgeter, serta ditunjuknya Terdakwa I sebagai koordinator program tersebut; (point 2.2 hal 203-204)

                                                            iii.      Fakta dipersidangan : (point 2.3 hal 204)

          Dana non-budgeter Bulog adalah dana dari fee, merupakan dana taktis, dikelola berdasarkan konvensi;

          Perintah Presiden kepada Ka.Bulog mengenai dana non-budgeter:

a.       dana non budgeter Bulog tetap diadministrasikan di luar neraca;

b.       Ka.Bulog memberi laporan penggunaan dan pengelolaan dana non-budgeter setiap bulan;

          Dana non-budgeter tidak bisa dipertanggungjawabkan karena tidak ada aturannya dan berada di luar jalur pengelolaan;

                                                             iv.      Dana non budgeter Bulog tidak termasuk dalam kategori dana yang diatur oleh Keppres No. 16/1999 dan Keppres No. 18/2000, sehingga pengelolaannya hanya mengacu pada ‘konvensi’ pengelolaan dana non budgeter yang sudah berlaku yang itupun  bersifat fakultatif; (point 2.4 hal 205)

 

Sementara itu atas ‘hal-hal yang terurai di atas’ tersebut MA memberikan pertimbangan hukum:

  1. Perbuatan Terdakwa I menerima dana non budgeter Bulog sebesar Rp. 40 milyar dan menyerahkannya kepada Terdakwa II adalah dalam rangka melaksanakan instruksi Presiden sehubungan dengan “keadaan darurat untuk tindakan pengadaan dan penyaluran sembako”; (point 1 hal 205)
  2. Terdakwa II wajib menjalankan kebijakan Presiden tersebut; (point 2 hal 205)
  3. Dalam menjalankan kebijakan tersebut Terdakwa I telah mengambil kebijakan diskresioner yang dapat dipertanggungjawabkan karena:

3.1.              penggunaan dana non budgeter tidak diatur dalam Keppres dan Terdakwa I dapat menyimpangi aturan tersebut dalam keadaan darurat.

 

Kebijakan diskresioner tetap dibatasi, hakim dapat melakukan penilaian apakah terdapat sifat penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan kebijakan diskresioner. Dalam perkara ini kalau memang ada maka perbuatan Terdakwa I menjadi tidak legal karena bersifat melawan hukum; (point 3.1 hal 206)

 

3.2.              Terdakwa I dalam melakukan penunjukan langsung Terdakwa II sebagai pelaksana pengadaan sembako memenuhi unsur rechmatig dan legalitas, atas dasar:

3.2.1.         Terdakwa I melaksanakan instruksi tidak tertulis dari Presiden yang diambil dalam keadaan darurat; (point 3.2.1. hal 207)

3.2.2.         Tidak ada aturan yang tegas yang mengatur penggunaan dana non budgeter; (point 3.2.2. hal 207)

3.2.3.         Terdakwa II dan III telah melakukan pemaparan tentang pengalaman dan kemampuan mereka dalam mengelola pekerjaan dimaksud, dan kedua Terdakwa tersebut merupakan atas rekomendasi dari Menko Taskin, bukan atas inisiatif Terdakwa I sendiri; (point 3.2.3. hal 207)

3.2.4.         Terdakwa I telah menunjuk Ir. Machdar untuk memonitor pelaksanaan kebijakan dimaksud; (point 3.2.4. hal 207)

 

Analisa:

1.       Terdapat ketidaksesuaian antara fakta-fakta yang diakui oleh MA, penilaian MA pertimbangan hukum atas fakta-fakta tersebut(‘hal terurai di atas’), dengan kesimpulan/penilaian MA. Logika hukum yang lazim dikenal dan dipergunakan dalam hukum biasanya adalah:

 

          penilaian/kesimpulan baru dapat diberikan setelah memberikan pertimbangan hukum berdasarkan fakta-fakta.

          Pertimbangan hukum baru dapat diberikan jika fakta-fakta telah diakui kebenarannya.

          Fakta-fakta yang diakui kebenarannya adalah dalil dari para pihak yang telah dibuktikan dengan proses pembuktian

 

Atas logika tersebut di atas maka putusan MA dapat disimpulkan sebagai berikut:

          pernyataan MA yang menyatakan bahwa unsur ‘menyalahgunakan kewenangan …dst’ tidak terbukti merupakan penilaian/kesimpulan MA.

          Kesimpulan MA tersebut didasari oleh pertimbangan-pertimbangan hukum, pertimbangan hukum yang dimaksud yaitu terdapat pada hal. 205 yang terdiri dari 3 huruf.

          Pertimbangan hukum tersebut didasari atas fakta-fakta yang diakui. Fakta-fakta yang dimaksud oleh MA adalah fakta yang terdapat dalam hal. 203-205.

 

Dengan pemaparan sebagaimana diatas maka ditemukan kejanggalan dalam pertimbangan dan kesimpulan MA diatas, yang mana pada bagian pertimbangan hukum terlihat bahwa terdapat suatu fakta yang belum dibuktikan, yaitu terlihat dari kata-kata MA yang menyatakan:

 

point 3.1 alinea II:

 

‘Justru dalam pemeriksaan perkara inilah akan dibutkikan apakah sifat penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan itu ada pada diri Terdakwa I ketika melaksanakan kewenangan diskresionernya, sehingga kalau memang ada maka perbuatannya menjadi tidak legal dan karenanya bersifat melawan hukum.’

 

Hal tersebut di atas menjadi suatu kejanggalan oleh karena bagaimana bisa suatu kesimpulan/keputusan diberikan dimana masih terdapat fakta yang harus dibuktikan?

 

  1. Yang dimaksud dengan ‘keadaan darurat’ apakah dalam konteks perbuatan Terdakwa I menerima dan menyerahkan dana a quo kepada Terdakwa II ataukah dalam konteks keluarnya instruksi presiden? Jawaban atas hal ini mempunyai implikasi yang sangat besar pada perkara ini, karena jawaban tersebut merupakan kunci dari apakah terhadap Terdakwa I terdapat noodtoestand atau tidak.[21]

 

  1. Point 3.1 : suatu perbuatan baru dapat dikatakan menyimpang jika perbuatan tersebut melanggar suatu aturan yang mengatur perbuatan dimaksud. Jika suatu perbuatan sama sekali tidak diatur maka tidak akan mungkin ada penyimpangan. Pernyataan MA tersebut berarti sangat tidak logis.

 

 

 

* tulisan ini dibuat pada tahun 2004 sebagai bahan untuk melakukan Eksaminasi Publik yang dilakukan oleh Koalisi Pemantau peradilan.


[1] Remmelink, J. Prof. Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2003. hal. 229

[2] Utrecht, E. Hukum Pidana I. Pustaka Tinta Mas, Surabaya (tanpa tahun) . hal. 355

[3] Ibid. Hal 358-359.

[4] Bandingkan dengan Utrecht I Ibid. hal. 360-361

[5] Bandingkan dengan Remmelink, Op.cit. hal 225-238

[6] Op.cit Utrecht I hal. 364

[7] Sianturi, R. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Hal 159.

[8] Lihat Remmelink op.cit. hal. 160 dan Sianturi Ibid. hal…

[9] Remmelink op.cit. hal 152.

[10] Bandingkan dengan Sianturi Op.cit. hal. 168 dan Utrecht I op.cit. hal. 300.

[11] Sianturi op.cit hal 172-181.

[12] Remmelink op.cit. hal. 153-155

[13] Menurut penulis pendapat Prof. Dr. Loebby Loqman, SH. tersebut bukanlah hukum materil negatif, akan tetapi perbuatan melawan hukum materil yang bersifat positif. Bandingkan dengan pendapat Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH dalam bukunya “Korupsi dan Hukum Pidana”, Jakarta: 2001. hal.131-188, pendapat Prof. Muljatno, SH. Azas-Azas Hukum Pidana. Penerbit Rineka Cipta …1993. hal. 133. Kesalahan di atas terjadi kemungkinan terletak pada proses minutasi/pengetikan. Dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya penulis akan menganggap bahwa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Loebby Loqman adalah ajaran melawan hukum materil positif.

[14] Lihat catatan sebelumnya mengenai hal ini pada bagian Analisa atas Pokok Pikiran Pertama / Keadaan Darurat, seperti dalam analisa sebelumnya MA juga ternyata telah salah menerapkan hukum oleh karena mengambil keputusan mengenai noodtoestand tersebut tanpa adanya proses pembuktian yang cukup, atau dengan kata lain MA menerima dalil noodtoestand yang diajukan oleh Terdakwa I begitu saja.

[15] Mengenai hal ini lihat bagian selanjutnya mengenai Dakwaan Subsidair terhadap Terdakwa II dan III.

[16] Sianturi op.cit hal. 297.

[17] Utrecht I op.cit. hal 378.

[18] Lihat analisa penulis sebelumnya yang terdapat pada Pertimbangan II – Kesengajaan. Dari analisa tersebut terlihat bahwa MA tidak menolak pendapat hukum judex factie, MA secara implisit menerima pendapat judex factie tersebut hanya menolak pemidanaannya saja karena unsur kesengajaannya tidak terbukti. 

[19] Lihat juga analisa sebelumnya pada bagian Pertimbangan III – Unsur Melawan Hukum. Pada analisa sebelumnya sebenarnya inkonsistensi ini juga sudah terlihat, yaitu terdapat ambiguitas dari pendapat MA mengenai sebenarnya pendapat MA yang benar adalah mengakui perbuatan melawan hukum materil yang bersifat positif seperti yang terdapat dalam Penjelasan Umum UU No. 3/1971 atau pendapat Prof. Loebby Loqman yang menolak pemberlakuan teori perbuatan melawan hukum materil yang bersifat positif.

[20] Lihat juga analisa pada bagian Pertimbangan II – Kesengajaan. Pada bagian tersebut MA mengatakan sendiri bahwa unsur kesengajaan harus dibuktikan terlebih dahulu.

[21] Lihat analisa sebelumnya hal. 3-6.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s