Hari ini di PSHK diadakan diskusi mengenai UU Parnografi, kebetulan saya diminta oleh teman PSHK untuk menjadi salah satu pembicaranya. Sebagai “pakar” pidana katanya. Alamak, mudah sekali ternyata untuk menjadi pakar di negara ini, sekali dua kali jadi pembicara melekatlah label “pakar”, tapi untung label “pakar”nya adalah pakar pidana, coba kalo pakar pornografi, tamatlah riwayat saya.
…tapi bukan itu point yang ingin saya bahas. yang saya ingin bahas di sini adalah UU Pornografi itu sendiri.
Secara umum menurut saya UU ini sangat rumit untuk dicerna, pasal-pasal terkadang dirumuskan secara berulang-ulang, yang pada akhirnya membingungkan. Butuh metode tersendiri untuk membaca UU ini. Sebagai contoh dalam pasal 4 ayat 1 dinyatakan
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.