Catatan Atas Teknik Penyusunan Ketentuan Pidana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

*Telah dipublikasikan di Jurnal Legislasi Indonesia Januari 2012 (Kementrian Hukum dan HAM)

Pengantar

Pada tanggal 12 Agustus 2011 yang lalu DPR dan Pemerintah telah mensahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dengan judul yang sama. Cukup banyak perubahan yang terjadi terkait pembentukan peraturan perundang-undangan jika dibandingkan antara kedua undang-undang tersebut. Jika dilihat secara sekilas saja jumlah pasal yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 ini hampir 2 (dua) kali lipat jumlahnya, dari 58 pasal yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 menjadi 104. Perubahan terjadi baik dalam susunan (hirarki) peraturan perundang-undangan hingga proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membedah seluruh perubahan yang terjadi di Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tersebut namun secara khusus dimaksudkan untuk melihat satu aspek dari Undang-Undang ini saja, yaitu khusus yang terkait dengan pengaturan ketentuan pidana. Aspek ini dipilih oleh karena penulis melihat semakin banyaknya Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana dengan banyak persoalan di dalamnya, mulai dari ketidakjelasan rumusan atau unsur, duplikasi pengaturan dengan KUHP atau ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya, diabaikannya (atau terabaikannya) ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam Buku I KUHP, ketidakjelasan parameter pengaturan sanksi pidana dan lain sebagainya.

Teknik maupun panduan secara umum mengenai perumusan ketentuan pidana saat ini memang belum banyak menjadi perhatian. Literatur-literatur mengenai hal ini juga sejauh ini belum ditemukan oleh penulis. Untuk itu maka penting kiranya untuk secara spesifik mengkaji aspek pengaturan mengenai perumusan ketentuan pidana dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ini. Continue reading

Nama Delik (1)

Nama delik atau nama tindak pidana adalah nama yang diberikan oleh (pembuat) undang-undang atas suatu delik / tindak pidana. Fungsi nama delik pada dasarnya seperti halnya nama bagi manusia, benda dll, untuk mempermudah merujuk suatu obyek yang spesifik.

Nama delik ini biasanya terletak di dalam pasal atau ayat yang suatu delik. Nama delik biasanya jika tidak diletakan pada awal kalimat sebelum uraian unsur-unsur atau akhir kalimat setelah uraian unsur-unsur namun sebelum ancaman hukuman. Penamaan yang diletakan di awal kalimat pasal/ayat misalnya pasal 107f KUHP, tentang Sabotase. Pasal tersebut berbunyi:

Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun:

a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau diundangkan

b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.

Sementara itu penamaan yang diletakan di akhir kalimat misalnya pasal 338 tentang Pembunuhan:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Tidak semua delik memiliki nama. Mengapa? Saya sendiri juga kurang tahu, mungkin karena tidak mudah memberikan nama untuk seluruh delik, dan juga mungkin tidak penting juga untuk memberikan nama bagi seluruh delik. Nama delik pada dasarnya hanyalah tambahan semata, bukan bagian dari unsur-unsur tindak pidana itu sendiri. Contoh pasal yang tidak memiliki nama delik sangat banyak, bahkan sebagian besar delik sebenarnya tidak diberikan nama. Berikut delik-delik yang memiliki nama di KUHP: Continue reading

Kasasi Atas Putusan Bebas dan Legislasi yang Tidak Responsif

Saat ini (tafsir) pasal 67 dan 244 KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) diuji di Mahkamah Konstitusi. Apa sebab? Kedua pasal tersebut mengatur mengenai larangan putusan yang bersifat pembebasan (putusan/vonis bebas) diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi (kecuali Kasasi Demi Kepentingan Hukum-tentang KDKH ini lihat tulisan saya yang lain dengan topik ini), namun dalam prakteknya Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi atas putusan bebas ini yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Praktek tersebut sebenarnya sudah sangat lama, bahkan pertama kalinya masalah ini muncul hanya berselang 2-3 tahun sejak KUHAP tersebut diundangkan, yaitu tahun 1983 di kasus korupsi dengan terdakwa Raden Sonson Natalegawa.

Putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 tersebut kemudian menjadi yurisprudensi yang kemudian diikuti oleh Mahkamah Agung selanjutnya. Di putusan tersebut intinya Mahkamah Agung membagi putusan bebas menjadi dua jenis, yaitu putusan bebas murni dan bebas tidak murni. Untuk putusan bebas murni putusan tersebut oleh MA dinyatakan tidak termasuk putusan yang dapat dikasasi, sementara untuk putusan bebas yang tidak murni dapat diajukan kasasi. Apa itu putusan bebas tidak murni? Pada intinya putusan bebas yang sebenarnya bukan bersifat pembebasan namun lepas/onslag van vervolgin, yaitu jika putusan tersebut sebenarnya bukan didasarkan pada terbukti atau tidaknya unsur-unsur perbuatan yang didakwakan namun karena kekeliruan majelis hakim dalam menafsirkan ketentuan atau unsur-unsur tindak pidana, melampaui kewenangannya, atau memasukkan unsur-unsur non yuridis di dalam pertimbangannya (bandingkan dengan pertimbangan MA dalam putusan No. 275 K/Pid/1983). Continue reading

Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

Tanggal 30 Mei 2011 yang lalu Mahkamah Agung menerbitkan Perma tentang Hak Uji Materiil yang baru yang menggantikan Perma No. 1 Tahun 2004. Di Perma baru ini, No. 1 Tahun 2011 ketentuan mengenai tenggat waktu pengajuan Hak Uji Materiil terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UU dihapuskan, yang mana dalam Perma sebelumnya diatur bahwa peraturan perundang-undangan dibawah UU hanya dapat diuji paling lama 180 hari sejak ditetapkannya peraturan tersebut. Dengan Perma baru ini maka suatu peraturan dibawah UU dapat diuji kapan pun.

Untuk mendapatkan Perma No. 1 Tahun 2011 tersebut silahkan unduh di http://legislasi.mahkamahagung.go.id atau langsung klik di sini.

Reformasi Denda

Denda merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang selama ini terabaikan. Coba saja lihat berapa jumlah denda yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana kita. Jumlahnya masih sangat kecil, berkisar antara 450 s/d 9.000 rupiah. Jumlah tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini. Akibatnya sanksi denda tersebut menjadi tidak efektif, jaksa penuntut umum tentu tidak mau menuntut terdakwa dengan tuntutan denda dengan jumlah sebesar itu, begitu juga dengan pengadilan, tak mungkin pengadilan akan menjatuhkan hukuman denda sekecil itu.

Apa akibatnya? Sanksi penjara menjadi satu-satunya pilihan jenis hukuman yang tersedia dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana. Ketika penjara menjadi 1-1 nya pilihan penghukuman maka jangan heran jika jumlah narapidana kita menjadi tidak seimbang dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan atau penjara. Besarnya jumlah narapidana hingga melampaui kapasitas lembaga pemasyarakatan menimbulkan permasalahan lain, besarnya anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membiayai penjara, korupsi di LP dengan cara memperjualbelikan fasilitas kepada narapidana yang mampu, terlanggarnya hak-hak asasi narapidana, masalah kesehatan, tidak efektifnya pembinaan yang dilakukan terhadap para narapidana dan segudang masalah lainnya. Belum lagi penjara akan meninggalkan stigma terhadap mantan Continue reading

Struktur Buku I RKUHP

Berikut adalah Struktur Buku I Draft RKUHP versi 2010

Untuk mendapatkan file Draft RKUHP tersebut dapat dicari di sini -> http://www.djpp.depkumham.go.id/rancangan.html

Semoga bermanfaat.

Catatan saya atas Buku I ini semoga segera menyusul.

 

BUKU KESATU KETENTUAN UMUM

BAB I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

Bagian Kesatu Menurut Waktu

Bagian Kedua Menurut Tempat

Paragraf 1 Asas Wilayah atau Teritorial

Paragraf 2 Asas Nasional Pasif

Paragraf 3 Asas Universal

Paragraf 4 Asas Nasional Aktif

Paragraf 5 Pengecualian

Bagian Ketiga Waktu Tindak Pidana

Bagian Keempat Tempat Tindak Pidana

BAB II TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Bagian Kesatu Tindak Pidana

Paragraf 1Umum

Paragraf 2 Permufakatan Jahat

Paragraf 3 Persiapan

Paragraf 4 Percobaan

Paragraf 5 Penyertaan

Paragraf 6 Pengulangan

Paragraf 7 Tindak Pidana Aduan

Paragraf 8 Alasan Pembenar

Bagian Kedua Pertanggungjawaban Pidana

Paragraf 1 Umum

Paragraf 2 Kesalahan

Paragraf 3 Kesengajaan dan Kealpaan

Paragraf 4 Kemampuan Bertanggung Jawab

Paragraf 5 Alasan Pemaaf

Paragraf 6 Korporasi

BAB III PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN

Bagian Kesatu Pemidanaan

Paragraf 1Tujuan Pemidanaan

Paragraf 2 Pedoman Pemidanaan

Paragraf 3 Perubahan atau Penyesuaian Pidana

Paragraf 4 Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Paragraf 5 Lain-Lain Ketentuan Pemidanaan

Bagian Kedua Pidana

Paragraf 1 Jenis Pidana

Paragraf 2 Pidana Penjara

Paragraf 3 Pidana Tutupan

Paragraf 4 Pidana Pengawasan

Paragraf 5 Pidana Denda

Paragraf 6 Pelaksanaan Pidana Denda

Paragraf 7 Pidana Pengganti Denda Kategori I

Paragraf 8 Pidana Pengganti Denda Melebihi Kategori I

Paragraf 9 Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi

Paragraf 10 Pidana Kerja Sosial

Paragraf 11 Pidana Mati

Paragraf 12 Pidana Tambahan

Bagian Ketiga Tindakan

Bagian Keempat Pidana dan Tindakan bagi Anak

Bagian Kelima Faktor-Faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana

Bagian Keenam Perbarengan

BAB IV GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA

Bagian Kesatu Gugurnya Kewenangan Penuntutan

Bagian Kedua Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana

BAB V PENGERTIAN ISTILAH

BAB VI KETENTUAN PENUTUP

Struktur Buku I RKUHP

BUKU KESATU KETENTUAN UMUM

BAB I RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PIDANA

Bagian Kesatu Menurut Waktu

Bagian Kedua Menurut Tempat

Paragraf 1 Asas Wilayah atau Teritorial

Paragraf 2 Asas Nasional Pasif

Paragraf 3 Asas Universal

Paragraf 4 Asas Nasional Aktif

Paragraf 5 Pengecualian

Bagian Ketiga Waktu Tindak Pidana

Bagian Keempat Tempat Tindak Pidana

BAB II TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Bagian Kesatu Tindak Pidana

Paragraf 1Umum

Paragraf 2 Permufakatan Jahat

Paragraf 3 Persiapan

Paragraf 4 Percobaan

Paragraf 5 Penyertaan

Paragraf 6 Pengulangan

Paragraf 7 Tindak Pidana Aduan

Paragraf 8 Alasan Pembenar

Bagian Kedua Pertanggungjawaban Pidana

Paragraf 1 Umum

Paragraf 2 Kesalahan

Paragraf 3 Kesengajaan dan Kealpaan

Paragraf 4 Kemampuan Bertanggung Jawab

Paragraf 5 Alasan Pemaaf

Paragraf 6 Korporasi

BAB III PEMIDANAAN, PIDANA, DAN TINDAKAN

Bagian Kesatu Pemidanaan

Paragraf 1Tujuan Pemidanaan

Paragraf 2 Pedoman Pemidanaan

Paragraf 3 Perubahan atau Penyesuaian Pidana

Paragraf 4 Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Paragraf 5 Lain-Lain Ketentuan Pemidanaan

Bagian Kedua Pidana

Paragraf 1 Jenis Pidana

Paragraf 2 Pidana Penjara

Paragraf 3 Pidana Tutupan

Paragraf 4 Pidana Pengawasan

Paragraf 5 Pidana Denda

Paragraf 6 Pelaksanaan Pidana Denda

Paragraf 7 Pidana Pengganti Denda Kategori I

Paragraf 8 Pidana Pengganti Denda Melebihi Kategori I

Paragraf 9 Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi

Paragraf 10 Pidana Kerja Sosial

Paragraf 11 Pidana Mati

Paragraf 12 Pidana Tambahan

Bagian Ketiga Tindakan

Bagian Keempat Pidana dan Tindakan bagi Anak

Bagian Kelima Faktor-Faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana

Bagian Keenam Perbarengan

BAB IV GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA

Bagian Kesatu Gugurnya Kewenangan Penuntutan

Bagian Kedua Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana

BAB V PENGERTIAN ISTILAH

BAB VI KETENTUAN PENUTUP

Nenek Minah dan Kelalaian Legislasi

Masih ingat kasus Nenek Minah yang cukup menghebohkan tahun lalu? Seorang nenek tua renta yang diadili karena dituduh mencuri 2 buah kakao (buah coklat) yang harganya mungkin tak lebih dari Rp. 5.000,- perak.

Masih ingat kasus pencurian sebuah semangka? Sebuah semangka yang harganya mungkin tak lebih dari 30 ribu perak yang berujung ke pengadilan dimana pelaku sempat dikenakan penahanan?

Masih ingat kasus seorang buruh yang dituduh mencuri panganan ringan di pabriknya yang harganya tak lebih dari 20 ribu perak?

Masih ingat kasus seorang buruh yang didakwa karena pencurian sepasang sendal jepit contoh yang dipakainya untuk shalat jumat?

Masih ingat kasus Nenek Rusminah yang dituduh mencuri seperangkat piring dan semangkuk Sop Buntut?

Dan tentunya masih banyak kasus lainnya yang tak tercatat.

Continue reading

Konsolidasi Peraturan Perundang-Undangan yang Telah Mengalami Revisi

Agak menyebalkan bukan membaca peraturan perundang-undangan yang telah direvisi (diubah), apalagi revisinya lebih dari sekali. Kita harus membuka semua peraturan tersebut untuk bisa membacanya dengan baik. Ya kalau perubahannya hanya satu kali. kalau sampai 3 atau 4 kali bagaimana? Apalagi kalau perubahannya tidak sistematis. Misalnya di perubahan pertama pasal 3, 5 dan 6 diubah, kemudian di perubahan kedua pasal 3 diubah lagi, lalu pasal 4 cabut, dan di antara pasal 5 dan 6 ditambah satu atau lebih pasal, pasal 5A, 5B dst. Repot bukan?

Kita tentu heran, mengapa peraturan perundang-undangan yang telah mengalami revisi beberapa kali tersebut dibiarkan begitu saja, tanpa ada suatu upaya untuk mengkompilasikannya ke dalam satu naskah. Padahal hal ini penting, tidak hanya bagi masyarakat (khususnya yang sering bersentuhan dengan dunia hukum) namun juga bagi pembuat peraturan perundang-undangan itu sendiri, misalnya ketika pembuat kebijakan akan melakukan evaluasi atas peraturan tersebut, atau ketika hendak melakukan revisi (kembali). Bayangkan, berapa banyak peraturan yang harus dibuka secara bersamaan?

Mengenai hal ini Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 (UU ini telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011. Materi yang akan dibahas dlm tulisan ini tetap ada dlm UU tersebut – update 20 Maret 2013*) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebenarnya sudah memberikan sedikit pengaturan yang memberikan landasan untuk disusun ulangnya peraturan perundang-undangan yang telah direvisi dalam satu naskah lengkap. Pengaturan ini diatur dalam angka 199-201 Lampiran UU tersebut. Dalam angka 200 Lampiran tersebut dinyatakan:

Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:

1.              urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka, atau butir;

2.              penyebutan-penyebutan, dan

3.              ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.

Sementara itu dalam angka selanjutnya dinyatakan bahwa penyusunan kembali naskah tersebut dilakukan dengan Peraturan Presiden dimana Perpres tersebut diberi judul Perpres tentang Penyusunan Kembali Naskah perundang-undangan yang akan dikompilasi.

Yang menarik Peraturan Presiden ini dapat digunakan untuk menyusun ulang naskah semua peraturan perundang-undangan yang termasuk dalam hirarki perundang-undangan. Jadi mulai dari UUD sampai dengan Peraturan Daerah. Tentunya Perpres ini hanya dapat menyusun ulang saja tanpa merubah substansi dari peraturan perundang-undangan yang disusun ulang tersebut.

Perpres ini seharusnya dioptimalkan oleh Pemerintah untuk ‘menertibkan’ peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali, yang jumlahnya memang cukup banyak. Untuk peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang saja antara tahun 2006-2010 terdapat undang-undang yang merupakan undang-undang perubahan (revisi). Perpres semacam ini penting khususnya dalam rangka menjalankan fungsi publikasi peraturan perundang-undangan yang memang menjadi tanggung jawab pemerintah. Tentunya, penyusunan ulang naskah tersebut melalui Peraturan Presiden semata tidak cukup, jika disisi lain Pemerintah juga tidak mensosialisasikan Perpres itu sendiri. Untuk itu setelah berbagai peraturan perundang-undangan disusun ulang dalam Perpres seperti ini fungsi publikasi lainnya perlu digalakkan. Misalnya dengan menerbitkan Perpres-Perpres tersebut dalam cetakan-cetakan resmi yang bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Catatan:

* Dalam UU 12 Tahun 2011 materi ini diatur dalam Lampiran I Nomor 238. Sedikit perbedaan antara UU 12 Tahun 2011 dengan 10 Tahun 2004 mengenai materi ini, jika dalam UU 10 Tahun 2004 diatur apa bentuk perundang-undangan yang bisa digunakan untuk mengkompilasi peraturan perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali tersebut, yaitu Peraturan Presiden, dalam UU 12 Tahun 2011 bentuknya tidak diatur.