Terjadi kesalahkaprahan yang luar biasa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hampir dalam semua proses penanganan perkara tindak pidana korupsi, khususnya yang disangka/didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bukti yang menjadi fokus pencarian adalah terkait berapa kerugian keuangan negara yang terjadi.
Kesalahkaprahan semakin berlanjut dengan mulai mengemukanya diskursus tentang apa yang dimaksud dengan unsur “kerugian perekonomian negara” yang ada di pasal yang sama, apa saja yang dapat dianggap termasuk sebagai kerugian perekonomian negara, bagaimana cara perhitungannya hingga siapa lembaga yang berwenang menghitungnya.
Mengapa saya katakan kedua hal tersebut salah kaprah? Karena unsur pokok yang mengkonstruksikan suatu perbuatan adalah perbuatan yang bersifat dapat dipidana, jahat atau yang biasa disebut dengan bersifat melawan hukum (wedderechtelijkeheid) bukan dan seharusnya bukan terletak pada ada -atau lebih jauh lagi,- berapa kerugian yang diakibatkan oleh seseorang. Unsur pokok tersebut berada pada unsur “memperkaya/menguntungkan secara melawan hukum/dengan menyalahgunakan kekuasaan atau kewenangan dst”.
Continue reading




