Problema Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor (2)

Dalam tulisan sebelumnya saya menguraikan permasalahan antara Pasal 3 dan Pasal 8 Tipikor di sini. Melengkapi tulisan tersebut berikut ini contoh lain dari permasalahan tersebut.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pid.Sus/2009 (Kristiani Mei Puji Astutik)

Dalam perkara ini Terdakwa pada saat menjabat sebagai Pemegang Kas Sekretariat DPRD Kab. Blora Tahun anggaran 2006 didakwa melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada intinya menggunakan dana yang berasal dari Pos Belanja Tidak Langsung sebesar +/- Rp 77 Juta tanpa bisa mempertanggungjawabkannya, dari total anggaran sebesar +/- Rp 9 milyar. Atas perbuatan tersebut Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan berlapis (primair-subsidair) dimana dalam dakwaan primair PU mendakwa dengan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, Subsidair dengan Pasal 3 UU Tipikor, Lebih Subsidair dengan Pasal 8 UU Tipikor.

Dalam Tuntutannya Penuntut Umum berkesimpulan bahwa dakwaan yang terbukti adalah dakwaan Subsidari, yaitu yang diancam dengan Pasal 3 UU Tipikor. Tuntutan hukuman yang dituntut yaitu penjara selama 2 tahun 6 bulan, denda Rp 50 juta, dan pembayaran uang pengganti sebesar +/- 77 juta dengan penjara pengganti selama 1 tahun.

Continue reading

Penghinaan Terhadap Badan Hukum (2) – PT Duta Pertiwi

Putusan MA No. 183 K/Pid/2010 (Fifi Tanang)

Perkara ini merupakan perkara penghinaan terhadap suatu badan hukum, yaitu suatu perusahaan.

Perkara ini berawal dari kekecewaan Terdakwa yang merupakan pemilik kios di ITC Mangga Dua terhadap PT Duta Pertiwi yang merupakan pengelola ITC Mangga Dua. Kekecewaan tersebut terjadi karena Terdakwa yang telah membeli kios tersebut dari PT Duta Pertiwi sejak tahun 1999 ternyata bagunan ITC Mangga Dua beralaskan hak HGB di atas HPL milik Pemda, sehingga Terdakwa dan seluruh pemilik kios ITC Mangga Dua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk memperpanjang HGB bangunan tersebut.

Mengetahui bahwa ternyata alas hak ITC Mangga Dua merupakan HGB di atas HPL Pemda DKI, sementara dalam sertifikat hanya tertulis HGB Terdakwa melaporkan pihak PT Duta Pertiwi atas penipuan dan pemalsuan surat ke Polda Metro Jaya. Setelah dilakukan penyidikan singkat cerita pihak Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan tersebut karena dianggap bukan tindak pidana. Kecewa atas hasil penyidikan tersebut, Terdakwa kemudian menuliskan Opini di harian Investor Daily Continue reading

Pengurangan Ancaman Pidana Minimum dalam Pengadilan Anak sebagai Yurisprudensi?

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur bahwa ancaman hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada terpidana anak adalah ½ dari ancaman maksimum dari ketentuan pidana yang akan dikenakan (Pasal 26 ayat (1), 27, dan 28 ayat (1)). Undang-undang yang hingga kini masih berlaku tersebut belum mengatur bagaimana dengan ancaman minimum yang saat ini banyak diatur dalam undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Belum diaturnya ketentuantuan mengenai bagaimana penerapan ketentuan pidana minimum dalam UU ini dapat dipahami, mengingat pada saat itu memang belum ada ketentuan pidana yang memuat ancaman pidana minimum. UU yang memuat ancaman pidana minimum sendiri baru lahir pada tahun yang sama dengan lahirnya UU Pengadilan Anak itu sendiri, yaitu tahun 1997, tepatnya UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU yang lahir 2 bulan setelah UU Pengadilan Anak. [1]

Kini lebih dari 15 tahun sejak UU Pengadilan Anak tersebut disahkan telah banyak undang-undang yang memuat ketentuan ancaman pidana minimum yang harus dijatuhkan pengadilan apabila dinyatakan terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan penuntut umum. Setidaknya terdapat 52 UU sejak tahun 1997 (daftar UU lihat lampiran). Dari 52 UU tersebut memang tidak seluruhnya merupakan delik-delik yang mungkin dilakukan oleh anak. Tindak pidana yang diatur di UU 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat misalnya, tentu hampir tidak mungkin dilakukan oleh Anak dibawah umur. Delik-delik yang memuat ancaman pidana minimum yang mungkin dilakukan oleh anak misalnya narkotika, pornografi, tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, kejahatan dalam UU Perlindungan Anak dan beberapa tindak pidana lainnya. Akan tetapi terlepas dari jenis delik apa yang mungkin dilakukan oleh anak dibawah umur pertanyaan mengenai bagaimana pemberlakuan ancaman pidana minimum bagi anak tetaplah penting untuk dijawab. 

Atas kekosongan hukum ini Mahkamah Agung telah beberapa kali memutus bahwa ancaman pidana minimum bagi terdakwa anak dikurangi ½ dari ancaman minimum yang Continue reading

Problematika Pasal 3 dan Pasal 8 UU Tipikor

UU Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebenarnya mengandung beberapa permasalahan. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti mengenai permasalahan tumpang tindih pengaturan delik/tindak pidana yang diatur di dalamnya. Sebenarnya ada cukup banyak ketentuan pidana yang tumpang tindih dalam UU ini, namun kali ini saya hanya akan menyoroti tumpang tindihnya pengaturan dalam Pasal 3 dan Pasal 8, karena kebetulan baru menemukan suatu putusan yang terkait masalah ini, yaitu Putusan No. 293 K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Drs. Ignas I Hurek Making.

Sebelum masuk bagaimana perkara di atas tentunya sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu apa yang diatur dalampasal 3 dan pasal 8 UU Tipikor.

Pasal 3

Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Continue reading

Resume Putusan Kasus Kejahatan HAM di Rawagede

Beberapa hari ini kita dikejutkan oleh putusan pengadilan Den Haag yang mengabulkan sebagian gugatan keluarga korban kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia khususnya di Rawagede pada tahun 1947. Kebetulan teman saya Imam Nasima, ahli hukum lulusan Utrecht yang pernah bekerja di PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) yang saat ini kebetulan tinggal di Belanda (di Den Haag juga ya mam?) dengan sukarela mau membuat resume perkara dan putusan Rawagede tersebut. Resume tersebut tentunya sangat membantu kita yang tidak bisa paham bahasa Belanda.

Bagi yang mau membaca resumenya tersebut silahkan kunjungi link ini.

Putusan Ne Bis In Idem

Tidak jelas apa maksud Jaksa Penuntut Umum mengajukan perkara ini 2644 K/Pid.Sus/2010 dengan Terdakwa Anastasia Kusmiati dengan dakwaan alternatif Kejahatan Perbankan dan Pemalsuan Surat sementara itu terdakwa sendiri telah dihukum dengan melalui putusan sebelumnya yang telah diperkuat oleh putusan kasasi No. 944 K/Pid/2006. Pasal yang di dakwakan memang berbeda. Dalam perkara 944 K/Pid/2006 ini memang didakwa dengan pasal yang berbeda, yaitu pencucian uang atau penipuan, namun baik tempus, locus delicti serta pokok permasalahannya tetap sama. Dan akhirnya di tingkat kasasi perkara No. 2644 K/Pid.Sus/2010 MA memperkuat putusan banding yang menyatakan dakwaan JPU ne bis in idem.

Menjadi pertanyaan bagi saya, kok bisa JPU melakukan hal seperti itu?

Terdakwa yang Tidak Didampingi oleh Penasehat Hukum bisa Dibebaskan dan Dugaan Penyiksaan merupakan Beban Pembuktian dari JPU, bukan Terdakwa

Putusan MA No. 2588 K/Pid.Sus/2010 (Frengki Cs)

Resume Putusan:

Terdakwa Frengki dan Terdakwa Yusli dalam perkara ini didakwa dengan dakwaan sengaja membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja. Atau dakwaan lainnya adalah memberi bantuan untuk membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito Narkoba jenis Ganja yang didahului dengan permufakatan jahat.

Pengadilan Negeri Sidikalang menyatakan bahwa dakwaan-dakwaan jaksa tersebut tidak terbukti. Dasar putusan ini adalah pencabutan BAP Kepolisian di pengadilan oleh para terdakwa karena BAP tersebut dibuat tanpa pendampingan penasehat hukum dan dibuat dalam keadaan dipaksa.

Mahkamah Agung menguatkan putusan PN Sidikalang tersebut. Dengan putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa bantuan hukum adalah hak setiap terdakwa dalam tingkatan pemeriksaan. MA juga mengembalikan posisi BAP yang ditandatangani terdakwa bukan sebagai barang bukti di pengadilan dan JPU tetap harus membuktikan secara substansial perbuatan pidana terdakwa. Selain itu, yang terpenting, MA juga menyatakan bahwa dugaan torture (peyiksaan) yang diajukan oleh terdakwa merupakan hal yang harus dibuktikan oleh JPU, bukan terdakwa. Dengan demikian, JPU wajib membuktikan torture tersebut tidak terjadi. Continue reading

Tindakan Kepala Desa menjual Tanaman yang berada di atas Tanah Bengkok yang ditanam oleh Kepala Desa Sebelumnya tidak melanggar hukum

Putusan MA No. 2243 K/Pid/2009 (Mohamad Zaini)

Resume Putusan:

Dalam perkara ini Terdakwa yang merupakan Kepala Desa Sukonolo Kabupaten Malang yang sedang menjabat didakwa dengan dakwaan alternatif berlapis, yaitu pencurian atau penggelapan dalam jabatan subsidair penggelapan karena menjual tanaman tebu yang ada di atas tanah Bengkok.  JPU berpendapat bahwa tanaman tebu tersebut merupakan miliki korban merupakan mantan Plt. Kepala Desa sebelumnya, karena korban lah yang sebelumnya menanam tanaman tebu tersebut diatas tanah bengkok tersebut.  JPU juga berpendapat bahwa walaupun sebagai Kepala Desa terdakwa memiliki hak untuk menguasai dan mengelola tanah Bengkok namun bukan berarti tumbuhan yang tumbuh diatasnya juga berada dalam penguasaannya.

Di tingkat pertama dakwaan JPU dinyatakan tidak terbukti. Putusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Dalam pertimbangannya MA menegaskan kembali hak Kepala Desa untuk mengelola dan mengusahai tanah Bengkok. Sayangnya Mahkamah Agung tidak menjawab esensi pertanyaan dari memori kasasi JPU apakah hak pengelolaan tanah bengkok tersebut termasuk juga hak atas tumbuhan yang berada di atasnya yang sebelumnya dimiliki oleh pihak lain, dalam hal ini Kepala Desa sebelumnya. Pertanyaan hukum JPU ini sebenarnya merupakan konsep dasar dari pemisahan horizontal hak atas tanah yang dianut di Indonesia. Bahkan anehnya Majelis Hakim Agung yang memutus permohonan kasasi ini seakan menyatakan bahwa tanaman tebu tersebut tidak ditanam oleh Korban, namun justru oleh Terdakwa.  Continue reading

Pengertian ”Penjara dan/atau Denda”

Putusan MA No. 2442 K/Pid.Sus/2009 (Ni Ketut Ari Susanti)

Pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara korupsi yang dipimpin oleh Ketua Muda Pidana Umum Artidjo Alkotsar ini cukup menarik, bukan pada perkaranya itu sendiri namun pada penafsirannya mengenai apa yang dimaksud dengan rumusan pemidanaan penjara dan/atau denda. Apakah makna ”penjara dan/atau denda” diartikan bahwa pengadilan dapat memilih salah satu diantara dua jenis pidana pokok tersebut yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, menjatuhkan keduanya, atau pidana penjara bersifat imperatif sementara pidana dendanya bersifat fakultatif Dalam putusan ini MA berpandangan bahwa pidana penjaranya bersifat imperatif, sehingga pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda.

Dalam perkara tindak pidana korupsi ini terdakwa didakwa melanggar pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. Di tingkat pertama dakwaan terhadap terdakwa tersebut dinyatakan terbukti. PN kemudian menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 1 tahun dan denda sebesar Rp. 50 juta, serta pidana tambahan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 12,5 juta. Atas putusan ini Terdakwa kemudian mengajukan banding.

Di tingkat banding Pengadilan Tinggi mengabulkan permohonan banding dari terdakwa. PT kemudian mengubah sanksi pidana dengan menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan oleh PN sehingga hanya pidana denda dan pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan. Alasan PT menghapuskan pidana penjara yang telah dijatuhkan PN yang terlihat dari Memori Kasasi JPU yaitu bahwa pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara dan atau denda artinya baik pidana penjara dan denda keduanya dapat di ja t uhkan bersamaan, tapi dapat pula dijatuhkan salah satu dari padanya yaitu pidana penjara saja atau denda… Namun di tingkat kasasi putusan PT tersebut dibatalkan oleh MA dengan alasan pidana penjara atas pelanggaran pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 bersifat imperatif.

Pertimbangan ini menarik karena dalam perkara lainnya dimana ketentuan sanksi pidananya juga dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” Mahkamah Agung berpandangan lain dan bahkan dapat dikatakan sejalan dengan penafsiran yang digunakan oleh Pengadilan Tinggi dalam perkara Ni Ketut Ari Susanti ini. Anehnya antara perkara tersebut dengan perkara ini terdiri dari dua hakim agung yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar (Ketua Muda bidang Pidana Umum) dan Mansur Kartayasa. Bahkan dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim yang sama, yaitu Artidjo Alkotsar. Perkara tersebut yaitu perkara Tindak Pidana Cukai dalam putusan MA No. 13 K/Pid.Sus/2011 (Isnaini).

Continue reading

Contoh Putusan Pidana Korporasi (1)

Putusan MA No. 862 K/Pid.Sus/2010 (Kim Young Woo / PT. Dongwoo Environmental Indonesia)

Putusan ini merupakan putusan atas perkara pencemaran lingkungan hidup yang melibatkan suatu perusahaan pengelola limbah cair Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Putusan ini menarik karena merupakan salah satu dari sedikit putusan atas suatu tindak pidana yang melibatkan korpoasi atau corporate crime.

Secara ringkas pada intinya dalam perkara ini PT Dongwoo Environmental Indonesia sebagai perusahaan jasa pengelola limbah B3 ternyata antara tahun 2006-2007 membuang sebagian limbah yang diterima dari pihak ketiga yang seharusnya diolah dalam tempat penampungan yang dimilikinya ke tempat lain yaitu tanah lapang di kawasan Bekasi dan Cikarang. Tindakan tersebut kemudian mencemarkan lingkungan dan mengakibatkan sebagian penduduk di kawasan tersebut mengalami sakit-sakit.

Dari tingkat pertama hingga putusan kasasi ini pengadilan menyatakan perbuatan terdakwa terbukti melanggar UU No. 23 Tahun 1997. Yang menarik terdapat beberapa ketidakjelasan dalam putusan ini. Pertama Dalam bagian Subyek Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang menadi Terdakwa adalah Kim Young Woo yang berstatus sebagai Presiden Direktur PT. Dongwoo Environmental Indonesia, sementara dalam uraian dakwaan yang didakwa adalah PT. DEI itu sendiri. Begitu juga dalam amar putusan, secara jelas menyatakan ”Terdakwa PT Dongwoo Environmental Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Kim Young Woo…”.

Continue reading