Hukuman Percobaan yang Dibatalkan Mahkamah Agung

No. 1600 K/Pid.Sus/2010 (dr. Bakri Abdullah, M. Kes bin Abdullah)

Link Putusan-> disini

Pertimbangan Putusan:

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

  1. Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi) salah menerapkan hukum, karena merubah putusan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan pidana 1 tahun penjara menjadi pidana percobaan dengan tanpa didasari pertimbangan yang tepat dan benar ;
  2. Bahwa menjatuhkan pidana percobaan dalam tindak pidana korupsi tidak sesuai dengan ketentuan pidana minimun khusus Pasal 3 UU Tipikor ;
  3. Bahwa judex facti tidak dibenarkan merubah dakwaan Jaksa Penuntut Umum dari Dakwaan Subsidiaritas menjadi Dakwaan Alternatif ;

Resume Putusan

Continue reading

Putusan Atas Perbuatan Yang Tidak Didakwakan

No. 876 K/Pid/2006 (Tumpak Simanjuntak)

Menimbang, terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

  1. Bahwa Judex Facti (Pengadilan Negeri) yang menyatakan bahwa terhadap Terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum baik dalam dakwaan pertama atau dakwaan kedua, namun karena berdasarkan fakta-fakta dipersidangan, Terdakwa dinyatakan telah bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal lain yang tidak didakwakan yaitu Pasal 3 (1) Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001, pasal yang masih satu jenis, atau masih dalam satu kwalifikasi dengan pasal yang didakwakan;
  2. Bahwa terhadap pertimbangan yang demikian Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah melampaui batas wewenangnya, dimana dalam surat dakwaan tidak didakwakan, namun membuat sendiri pasal yang dianggap sejenis dengan tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa ;
  3. Bahwa bila mengingat rasa keadilan terhadap diri Terdakwa justru Terdakwa yang harus dihormati dari sebab tidak melakukan apa yang tidak didakwakan kepadanya ;

Kasus Posisi:

Terdakwa adalah seorang Kepala Desa di desa Pematang Siantar Lalang Kabupaten Deli Serdang. Pada tahun 2002 Terdakwa membagikan Beras Miskin kepada warga. Pada awalnya KK yang berhak mendapatkan Raskin sebanyak 324 KK dimana masing-masing KK berhak mendapatkan 20 kg beras dimana per kg nya dikenakan harga Rp. 1.000, -. Pembagian beras tersebut pada tahun 2002 terjadi sebanyak 4 kali. Dalam membagikan beras tersebut terdakwa melakukan penyimpangan-penyimpangan prosedur, mulai dari pembagian tidak dilakukan dengan kupon, harga beras tidak merata, ada yang dijual Rp. 100,- hingga  Rp. 1.300,-, serta jumlah KK penerima beras membengkak dari 344 hingga 495 KK. Atas perbuatan terdakwa menurut JPU negara dirugikan sebesar Rp. 12.960.000,- (Dua belas sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Surat Dakwaan oleh JPU disusun secara alternatif, namun JPU melakukan kesalahan oleh karena dakwaan pertama dan kedua baik maupun pasal yang didakwakan tidak berbeda sama sekali. Pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999. Anehnya dalam tuntutannya JPU menuntut terdakwa telah melanggar pasal 3 UU No. 31/1999.  Di tingkat pertama PN menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu maupun kedua, namun terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Di tingkat banding putusan PN tersebut diperkuat. Di tingkat kasasi kedua putusan tersebut dibatalkan karena terdakwa dinyatakan terbukti atas pasal yang tidak didakwakan terhadapnya (pasal 3 UU No. 31/1999). Dan mengingat dalam putusan PN yang dikuatkan PT terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan dalam dakwaan kesatu dan kedua MA akhirnya membebaskan terdakwa.

Majelis Hakim Agung: 1) German Hudiarto (Ketua); 2) Soedarno (Anggota); 3) Imam Haryadi (Anggota)

Melawan Hukum Materil Dalam Fungsi Positif (2)

No. Perkara: 131 PK/Pid/2006 (terdakwa Drs. H. Dharmono K Lawi cs)

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

  • bahwa alasan Pemohon Peninjauan kembali ad.A tersebut tidak dapat dibenarkan karena diputusnya perkara a quo dengan cepat tanpa mengurangi ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan dalam proses pengambilan putusan, dan tidak ternyata bahwa putusan Judex Juris tersebut mengandung suatu kekeliruan yang nyata;
  • sedangkan alasan ad.B tersebut juga tidak dapat dibenarkan karena ajaran “sifat melawan hukum” dalam konteks pemberantasan korupsi selain telah lama berkembang adanya doktrin, praktek Jurisprudensi dan penjelasan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.3 tahun 1999 jo Undang- Undang No. 20 tahun 2001. Continue reading

Isi Surat Dakwaan

Putusan MA No. 361 K/Pid.Sus/2008 (terdakwa Hj. Nurwati)

 

Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti (Pengadilan Tinggi ) salah menerapkan hukum, in casu berdasarkan pasal 143 Ayat (1) huruf b KUHAP apabila dakwaan tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan tidak menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu, baru dapat dinyatakan “ batal demi hukum “ ;

Bahwa Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, tidak menjelaskan pengertian tentang surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap, tetapi berdasarkan praktek pengadilan, hal tersebut di artikan sebagai berikut : Continue reading

Keadaan Memaksa

1. Putusan MA No. 979 K/Pid/2004

Terdakwa : Hendrobudiyanto (Mantan Direktur BI)

 

Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan, tetapi dalam memberi gambaran tentang krisis likuiditas akibat “rush” sebagai kelanjutan krisis moneter, secara implisit mengandung makna ada situasi krisis keuangan dan perbankan yang bisa dianalisa Bank Indonesia. Keadaan krisis ini membenarkan Bank Indonesia mengambil langkah-langkah yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Continue reading

Melawan Hukum Materil Dalam Fungsi Positif (1)

1. Putusan MA No. 2608 K/Pid/2006 ( Terdakwa: Ahmad Rojadi – Kasus Korupsi KPU)

 

Selain itu sehubungan dengan keberatan tersebut tidak berkelebihan apabila dikemukakan pendirian Mahkamah Agung yang tetap memberi makna ”perbuatan melawan hukum” yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang N0.31 tahun 1999, baik dalam arti formil maupun dalam arti materil, walaupun oleh putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 25 Juli 2006, No.003/PUU-IV/2006 Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.20 tahun 2001 jo Undang-Undang No.31 tahun 1999 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, mengingat alasanalasan sebagai berikut : Continue reading

Pembayaran Uang Pengganti

Dalam Putusan MA No. 161 K/Pid.Sus/2008 (Terdakwa: H. Ramlan Zas, SH, MH)

Menimbang, bahwa sehubungan dengan pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti, perlu dikemukakan sebagai berikut :

 

1. Bahwa dari Pasal 17 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat disimpulkan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 tidak bersifat imperative, mengingat Pasal 17 tersebut menentukan “Selain dapat dijatuhkan pidana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa “dapat” dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18Continue reading

Penyalahgunaan Kewenangan

1. Putusan Mahkamah Agung No. 742 K/Pid/2007

“bahwa sehubungan dengn pengertian unsur “menyalahgunakan kewenangan” dalam pasal 3 undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo undang-undang no. 20 Tahun 2001, Mahkamah Agung adalah berpedoman pada putusannya tertanggal 17 februari 1992, No. 1340 K/Pid/1992, yang telah mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detourment de pouvoir”

Terdakwa : Wahyono Herwanto & Yamirzal Azis Santoso

Susunan Majelis: 1. Parman Suparman; 2. Soedarno; 3. Imam Haryadi.

2. Putusan MA No. 979 K/Pid/2004

Terdakwa : Hendrobudiyanto (Mantan Direktur BI)

Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya ;

Ajaran tentang “Autonomie van het Materiele Strafrecht” diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Pebruari 1992 sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara “Sertifikat Ekspor” dimana Drs. Menyok Wijono didakwa melanggar Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagai Kepala Bidang Ekspor Kantor Wilayah IV Direktorat Jenderal Bea & Cukai Tanjung Priok, Jakarta. Oleh Mahkamah Agung R.I. dilakukan penghalusan hukum (rechtsvervijning) pengertian yang luas dari Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengambil alih pengertian “menyalahgunakan kewenangan” yang ada pada Pasal 52 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 (tentang Peradilan Tata Usaha Negara), yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan detournement de pouvoir. Memang pengertian detournement de pouvoir dalam kaitannya dengan Freies Ermessen ini melengkapi perluasan arti berdasarkan Yurisprudensi di Prancis yang menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline, pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu :

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan ;

2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain ;

3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana ;

Majelis Hakim Agung : 1) Bagir Manan (Ketua); 2) Iskandar Kamil (Anggota); 3) Parman Suparman (Anggota)

3.No. 2257 K/Pid/2006 (terdakwa Lim Kian Yin)

bahwa, tentang apakah yang dimaksud jabatan atau kedudukan yang dimaksud dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1919 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tidak diterangkan oleh Undang-Undang, oleh karena itu harus diartikan termasuk orang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam hukum privat, misalnya seorang Direktur PT (bandingkan Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formiil korupsi di Indonesia, Edisi Pertama, Cetakan kedua, halaman 50) ;

Majelis Hakim Agung : 1) Parman Suparman (Ketua); 2) I Gusti Ngurah Adnyana (Anggota); 3) Prof. Dr. Krisna Harahap (Anggota); 4) Odjak Parulian Simandjuntak (Anggota); 5) Leopold Luhut Hutagalung (Anggota)