Terobosan yang Nanggung dari Mahkamah Agung

Dua perkara dibawah ini sebenarnya cukup penting bagi perkembangan hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan hukum acara pidana. Pertanyaan hukum yang muncul dari kedua perkara ini adalah apakah Pengadilan dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa atas sesuatu yang tidak didakwakan Penuntut Umum, namun seharusnya didakwakan, terlebih dakwaan yang tidak didakwakan tersebut memuat ancaman hukuman yang lebih rendah.

Perkara seperti ini, dimana Penuntut Umum tidak mendakwakan juga pasal yang ancamannya lebih rendah sebenarnya telah sering terjadi. Dalam perkara pencurian terdapat beberapa perkara dimana untuk uraian perbuatan yang sama yang didakwakan Penuntut Umum seharusnya Penuntut Umum mendakwa juga menggunakan pasal 364 KUHP (pencurian ringan) yang ancamannya jauh lebih rendah daripada 362 KUHP (pencurian biasa). Begitu juga dengan perkara-perkara penganiayaan, tak jarang seharusnya penganiayaan yang dilakukan terdakwa berdasarkan uraian Penuntut Umum sendiri masuk dalam kualifikasi Penganiayaan Ringan (352 KUHP), namun Penuntut Umum hanya mendakwa dengan menggunakan pasal 351 KUHP.

Tindakan Penuntut Umum tersebut tentu saja merugikan Terdakwa serta mengunci Pengadilan dalam memberikan keadilan, mengingat dalam KUHAP, khususnya pasal 182 ayat 4 disebutkan “musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.”Ketentuan ini mengandung arti pengadilan terikat oleh surat dakwaan Continue reading

Inkonsistensi Mahkamah Agung dalam Perkara Narkotika

Dua perkara di bawah ini memperlihatkan adanya inkonsistensi Mahkamah Agung dalam perkara narkotika. Kedua perkara ini memiliki pertanyaan hukum yang sama, yaitu jika judex facti menilai bahwa terdakwa seharusnya dihukum sebagai penyalahguna narkotika sementara pasal penyalahguna (127 UU Narkotika) tidak didakwakan, apakah judex facti diperbolehkan menghukum terdakwa dengan pasal penyalahguna tersebut? Pertanyaan kunci ini ternyata dijawab oleh Mahkamah Agung secara tidak konsisten, oleh karena dalam perkara pertama MA menyatakan tidak boleh, sementara dalam perkara kedua diperbolehkan.

Dari kedua perkara ini yang menarik, terdapat hakim agung yang sama, yaitu Prof. Komariah Emong Sapardjaja yang duduk sebagai ketua majelis di kedua perkara tersebut, namun walaupun terdapat perbedaan pertimbangan yang bertolak belakang, tidak terdapat pendapat hukum yang berbeda (dissenting opinion) dalam kedua putusan ini. Kedua perkara ini juga diputus dalam waktu yang relatif berdekatan, perkara kedua Terdakwa ini diputus 11 januari 2012 sementara perkara Akhmad Marzuki diputus pada tanggal 27 Februari 2012. Selain itu kedua perkara ini juga terjadi di wilayah Pengadilan Tinggi yang sama, yaitu Pengadilan Tinggi Surabaya.

Berikut ini resume kedua putusan perkara tersebut:

Continue reading

Pengadilan Tidak Berwenang Mengubah / Membaca Dakwaan Subsidaritas menjadi Dakwaan Alternatif

Putusan No. 331 K/Pid.Sus/2011 (Helyadi Yusrif)

Resume Putusan:

Terdakwa adalah pegawai PT Pos di Kalimantan Timur. Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi yaitu saat menjabat sebagai petugas loket PT Pos tersebut mengambil uang yang dikelola oleh PT Pos, yaitu uang yang dititipkan oleh Pemerintah dalam penyaluran dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), uang pembayaran angsuran milik pihak ketiga yang dikelola oleh PT Pos dengan total kerugian sekitar 78 juta rupiah. Dalam perkara ini Penuntut Umum mendakwa terdakwa dalam dakwaan subsidiaritas, yaitu pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 jo. UU No. 20/2001 sebagai dakwaan primair, pasal 3 UU 31/1999 jo. 20/2001 dalam dakwaan subsidair, dan pasal 8 8 UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 dalam dakwaan lebih subsidair. Walaupun disusun secara subsidair namun uraian dakwaan ketiga dakwaan tersebut pada dasarnya sama persis.

Dalam tuntutannya Penuntut Umum menuntut terdakwa terbukti atas dakwaan subsidair, dengan tuntutan hukuman penjara selama 3 tahun 6 bulan, denda Rp. 50 juta, dan uang pengganti sebesar Rp. 78 juta lebih. Di tingkat pertama Pengadilan Negeri memutuskan terdakwa terbukti atas dakwaan subsidair dan menghukum terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun 6 bulan, denda Rp. 50 juta dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp. 78 juta lebih. Di tingkat banding putusan tersebut dikuatkan dengan menurunkan pidana penjara menjadi 2 tahun dan pidana penjara pengganti uang pengganti.

Atas putusan Banding tersebut baik terdakwa maupun Penuntut Umum mengajukan Kasasi. Alasan kasasi Terdakwa pada pokoknya menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti. Sementara itu alasan Penuntut Umum yaitu Penuntut Umum berpendapat bahwa Judex Facti salah dalam menerapkan hukuman karena Continue reading

Putusan Atas Perbuatan Yang Tidak Didakwakan

No. 876 K/Pid/2006 (Tumpak Simanjuntak)

Menimbang, terlepas dari alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

Bahwa Judex Facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

  1. Bahwa Judex Facti (Pengadilan Negeri) yang menyatakan bahwa terhadap Terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum baik dalam dakwaan pertama atau dakwaan kedua, namun karena berdasarkan fakta-fakta dipersidangan, Terdakwa dinyatakan telah bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal lain yang tidak didakwakan yaitu Pasal 3 (1) Undang-Undang No.31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001, pasal yang masih satu jenis, atau masih dalam satu kwalifikasi dengan pasal yang didakwakan;
  2. Bahwa terhadap pertimbangan yang demikian Judex Facti (Pengadilan Negeri) telah melampaui batas wewenangnya, dimana dalam surat dakwaan tidak didakwakan, namun membuat sendiri pasal yang dianggap sejenis dengan tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa ;
  3. Bahwa bila mengingat rasa keadilan terhadap diri Terdakwa justru Terdakwa yang harus dihormati dari sebab tidak melakukan apa yang tidak didakwakan kepadanya ;

Kasus Posisi:

Terdakwa adalah seorang Kepala Desa di desa Pematang Siantar Lalang Kabupaten Deli Serdang. Pada tahun 2002 Terdakwa membagikan Beras Miskin kepada warga. Pada awalnya KK yang berhak mendapatkan Raskin sebanyak 324 KK dimana masing-masing KK berhak mendapatkan 20 kg beras dimana per kg nya dikenakan harga Rp. 1.000, -. Pembagian beras tersebut pada tahun 2002 terjadi sebanyak 4 kali. Dalam membagikan beras tersebut terdakwa melakukan penyimpangan-penyimpangan prosedur, mulai dari pembagian tidak dilakukan dengan kupon, harga beras tidak merata, ada yang dijual Rp. 100,- hingga  Rp. 1.300,-, serta jumlah KK penerima beras membengkak dari 344 hingga 495 KK. Atas perbuatan terdakwa menurut JPU negara dirugikan sebesar Rp. 12.960.000,- (Dua belas sembilan ratus enam puluh ribu rupiah). Surat Dakwaan oleh JPU disusun secara alternatif, namun JPU melakukan kesalahan oleh karena dakwaan pertama dan kedua baik maupun pasal yang didakwakan tidak berbeda sama sekali. Pasal 2 ayat 1 UU No. 31/1999. Anehnya dalam tuntutannya JPU menuntut terdakwa telah melanggar pasal 3 UU No. 31/1999.  Di tingkat pertama PN menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan kesatu maupun kedua, namun terdakwa dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Di tingkat banding putusan PN tersebut diperkuat. Di tingkat kasasi kedua putusan tersebut dibatalkan karena terdakwa dinyatakan terbukti atas pasal yang tidak didakwakan terhadapnya (pasal 3 UU No. 31/1999). Dan mengingat dalam putusan PN yang dikuatkan PT terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan dalam dakwaan kesatu dan kedua MA akhirnya membebaskan terdakwa.

Majelis Hakim Agung: 1) German Hudiarto (Ketua); 2) Soedarno (Anggota); 3) Imam Haryadi (Anggota)

Isi Surat Dakwaan

Putusan MA No. 361 K/Pid.Sus/2008 (terdakwa Hj. Nurwati)

 

Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena judex facti (Pengadilan Tinggi ) salah menerapkan hukum, in casu berdasarkan pasal 143 Ayat (1) huruf b KUHAP apabila dakwaan tidak menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan tidak menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu, baru dapat dinyatakan “ batal demi hukum “ ;

Bahwa Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, tidak menjelaskan pengertian tentang surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap, tetapi berdasarkan praktek pengadilan, hal tersebut di artikan sebagai berikut : Continue reading

Perubahan Surat Dakwaan

Dalam perkara No. 2105 K/Pid/2006

Dengan Terdakwa : Ir. Wahyu Hartanto

(pertimbangan MA)

1.       bahwa secara tegas Pasal 144 ayat 1 dan ayat 2 menentukan :

(1)    Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum Pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya ;

(2)    Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai ;

 

2.       Bahwa Penuntut Umum telah mengubah surat dakwaan a quo tidak menurut cara dan waktu yang secara tegas ditentukan oleh Pasal 144 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP, karena : Continue reading